Kalau harus mengingat momen paling menyakitkan dalam hidup, yang pertama-tama terbayang di kepala bukanlah penderitaanku sendiri.
Seperti
ketika aku merasa sekarat gara-gara COVID-19.
Aku masih
teringat jelas ketika berbaring di ranjang, demam naik turun seperti ombak,
dadaku begitu sesak sampai-sampai tiap hembusan napas terasa seolah bernapas
lewat sedotan, sampai-sampai aku berpikir, “Mampus aku.”
Namun kala
itu pun, bukan rasa sakitku yang paling kutakuti, takut kalau-kalau rasa sakit
ini bakal menewaskanku. Aku justru takut pada dampak kematianku bagi
orang-orang yang kucintai.
Sejak
bertahun-tahun lalu aku sudah tahu, menyaksikan penderitaan orang lain jauh
lebih menyakitkan daripada menanggung rasa sakit sendiri.
Kejadian
pertama yang mengajariku tentang hal itu adalah ketika Mama tiba-tiba ambruk.
Mama sedang tidur di sebelahku lalu tiba-tiba menjerit nyaring. Suaranya begitu
menyembilu di tengah keheningan malam, tak pernah kudengar sebelumnya.
Begitu aku
menoleh, tubuhnya berkelojotan. Sedangkan mulutnya terbuka tapi tak bersuara.
Aku segera
mengangkat kepala Mama ke pangkuan. Kupanggil namanya berulang kali. Mama tak menanggapi.
Berat tubuhnya semakin menekan. Dua hari kemudian, dokter memberitahu bahwa
otaknya sudah mati (brain death) ketika sampai di rumah sakit.
Tangisku
pecah. Kehilangan Mama sungguh tak sanggup kutanggung.
Tapi
posisiku waktu itu berbeda. Penyakit darah tinggi Mama adalah bawaan, dan
dokter pun sudah lama memperingatkan.
Kala itu aku
sendiri masih tak berdaya. Penyesalan terbesarku hanyalah belum sempat tumbuh
dewasa untuk bisa memberikan kehidupan yang lebih layak sebelum Mama pergi.
Tetapi pada
kasus adikku, luka batin itu terasa jauh lebih menusuk. Aku menyaksikan bibir
pucatnya bergetar pelan ketika ia mulai sadar setelah operasi pengangkatan
tumor untuk kedua kalinya.
Di ranjang
sempit itu, ia terlihat begitu lemah, dengan luka jahitan yang masih basah membentang di
dadanya.
Sebenarnya
dadanya sudah pernah disayat dan dijahit lewat operasi serupa dua tahun lalu,
dan aku menganggapnya sebuah peristiwa sekali seumur hidup, seakan tumornya
takkan kembali. Aku sama sekali tidak belajar dari pengalaman.
Kami masih
saja meneruskan kebiasaan buruk kami, mulai dari makan mi instan hampir setiap
hari, naik motor sekalipun untuk belanja di toko yang berjarak tidak sampai 50
meter, sampai begadang larut malam padahal tubuh butuh istirahat.
Kubiarkan hari-hari
seperti itu berlanjut, dan yang menanggung akibatnya bukan aku, tapi justru
adikku. Berdiri di tepi ranjangnya, aku merasa seperti pendosa. Hanya saja
ganjarannya tidak menimpa diriku, melainkan menimpa adikku yang semestinya tak
bersalah.
Itulah
pelajaran yang kini kusadari. Sakitku sendiri, meski kadang tak tertahankan,
masih lebih mudah kuterima karena itu bagian dari diriku.
Yang
membuatku hancur adalah ketika melihat orang-orang yang kusayangi menderita,
terlebih ketika aku merasa bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya.
Sebab itulah operasi adikku lebih menusuk hatiku daripada kematian Mama, dan keduanya lebih perih daripada sakitku sendiri. Bukan penderitaanku, tapi penderitaan mereka, yang pada akhirnya benar-benar memilukan hati [.]
itu namanya punya daya empati dan simpati
BalasHapusKisah yang penuh berharga, pengalaman yang akan terkenang
Yang penting, terus semangat
Terima kasih banyak Pak 😊
Hapus