1 Oktober 2025

Luka Batin Terdalam

Kalau harus mengingat momen paling menyakitkan dalam hidup, yang pertama-tama terbayang di kepala bukanlah penderitaanku sendiri.

Seperti ketika aku merasa sekarat gara-gara COVID-19.

Aku masih teringat jelas ketika berbaring di ranjang, demam naik turun seperti ombak, dadaku begitu sesak sampai-sampai tiap hembusan napas terasa seolah bernapas lewat sedotan, sampai-sampai aku berpikir, “Mampus aku.”

Namun kala itu pun, bukan rasa sakitku yang paling kutakuti, takut kalau-kalau rasa sakit ini bakal menewaskanku. Aku justru takut pada dampak kematianku bagi orang-orang yang kucintai.

Sejak bertahun-tahun lalu aku sudah tahu, menyaksikan penderitaan orang lain jauh lebih menyakitkan daripada menanggung rasa sakit sendiri.

Kejadian pertama yang mengajariku tentang hal itu adalah ketika Mama tiba-tiba ambruk. Mama sedang tidur di sebelahku lalu tiba-tiba menjerit nyaring. Suaranya begitu menyembilu di tengah keheningan malam, tak pernah kudengar sebelumnya.

Begitu aku menoleh, tubuhnya berkelojotan. Sedangkan mulutnya terbuka tapi tak bersuara.

Aku segera mengangkat kepala Mama ke pangkuan. Kupanggil namanya berulang kali. Mama tak menanggapi. Berat tubuhnya semakin menekan. Dua hari kemudian, dokter memberitahu bahwa otaknya sudah mati (brain death) ketika sampai di rumah sakit.

Tangisku pecah. Kehilangan Mama sungguh tak sanggup kutanggung.

Tapi posisiku waktu itu berbeda. Penyakit darah tinggi Mama adalah bawaan, dan dokter pun sudah lama memperingatkan.

Kala itu aku sendiri masih tak berdaya. Penyesalan terbesarku hanyalah belum sempat tumbuh dewasa untuk bisa memberikan kehidupan yang lebih layak sebelum Mama pergi.

Tetapi pada kasus adikku, luka batin itu terasa jauh lebih menusuk. Aku menyaksikan bibir pucatnya bergetar pelan ketika ia mulai sadar setelah operasi pengangkatan tumor untuk kedua kalinya.

Di ranjang sempit itu, ia terlihat begitu lemah, dengan luka jahitan yang masih basah membentang di dadanya.

Sebenarnya dadanya sudah pernah disayat dan dijahit lewat operasi serupa dua tahun lalu, dan aku menganggapnya sebuah peristiwa sekali seumur hidup, seakan tumornya takkan kembali. Aku sama sekali tidak belajar dari pengalaman.

Kami masih saja meneruskan kebiasaan buruk kami, mulai dari makan mi instan hampir setiap hari, naik motor sekalipun untuk belanja di toko yang berjarak tidak sampai 50 meter, sampai begadang larut malam padahal tubuh butuh istirahat.

Kubiarkan hari-hari seperti itu berlanjut, dan yang menanggung akibatnya bukan aku, tapi justru adikku. Berdiri di tepi ranjangnya, aku merasa seperti pendosa. Hanya saja ganjarannya tidak menimpa diriku, melainkan menimpa adikku yang semestinya tak bersalah.

Itulah pelajaran yang kini kusadari. Sakitku sendiri, meski kadang tak tertahankan, masih lebih mudah kuterima karena itu bagian dari diriku.

Yang membuatku hancur adalah ketika melihat orang-orang yang kusayangi menderita, terlebih ketika aku merasa bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya.

Sebab itulah operasi adikku lebih menusuk hatiku daripada kematian Mama, dan keduanya lebih perih daripada sakitku sendiri. Bukan penderitaanku, tapi penderitaan mereka, yang pada akhirnya benar-benar memilukan hati [.] 

2 komentar

  1. itu namanya punya daya empati dan simpati
    Kisah yang penuh berharga, pengalaman yang akan terkenang
    Yang penting, terus semangat

    BalasHapus

Silakan tinggalkan jejak berupa tanggapan, pertanyaan, atau sapaan 😊

© m o f u m e m o
Maira Gall