Beberapa waktu belakangan aku sadar, toko kelontong di sekitar rumahku semakin bermunculan.
Pak Kun, tetangga persis di sebelah rumahku, sudah lebih
dulu punya toko sejak enam tahun lalu. Tak jauh dari situ, sekitar 25 meter,
ada Mbak Emma yang mulai berjualan tahun 2023. Dan kalau berjalan sedikit lebih
jauh, tujuh atau delapan rumah lagi, berdiri toko kecil milik teman lama
bapakku waktu SD.
Dua gang dari sini, di sebelah utara, ada dua toko kelontong
yang sudah lama berdiri berhadap-hadapan (dan persaingannya seolah tak pernah
berhenti). Nah, belum lama ini, ketika aku sedang jalan-jalan pagi bersama
adikku, kami menemukan toko kelontong lainnya yang baru saja buka. Pun sudah
dilengkapi SPBU mini dan freezer es krim.
Dari situ aku mulai bertanya-tanya, kenapa akhir-akhir ini
begitu banyak orang yang membuka toko kelontong?
Pikiran pertamaku adalah, “Wah, pasti bisnis ini untungnya gede
banget!” Tapi setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya tidak begitu.
Contohnya Pak Kun. Beliau dan keluarganya hidup sederhana,
rumahnya juga biasa saja. Putrinya pulang-pergi kerja menaiki Honda Beat
keluaran 2016, sementara beliau sendiri mengendarai motor CB yang tampak sudah
lelah menua.
Sementara itu, Mbak Emma boleh saja terlihat lebih makmur.
Perhiasan emas di leher dan jarinya sudah cukup menjadi pertanda. Namun
ternyata penghasilan utamanya justru berasal dari usaha kos-kosan, bukan dari
tokonya.
Dengan kata lain, menjalankan toko kelontong sebetulnya tak
begitu menguntungkan. Paling tidak, cukup untuk hidup layak dan tidak
kekurangan. (Di zaman yang serba berat seperti sekarang, barangkali itu juga
harapan kebanyakan orang, asal bisa bertahan hidup tanpa perlu terjerat utang…)
Rasa penasaranku kemudian sedikit terjawab setelah aku
membaca laporan dari Daishin Financial Group. Meski tidak secara langsung
membahas soal toko kelontong, laporan itu menyinggung sesuatu yang menarik.
Korea Selatan kini sedang menghadapi yang disebut “krisis
wiraswasta”. Jumlah pelaku usaha kecil di sana dua kali lebih banyak dibanding
Jepang atau Amerika Serikat. Sayangnya, banyak dari mereka yang kesulitan
membayar utang usaha, malahan lebih parah daripada pinjaman konsumsi. Para
ekonom menilai situasi ini turut menekan perekonomian nasional.
Katanya, akar persoalannya ada pada ketergantungan para
wiraswastawan terhadap bisnis mereka sebagai satu-satunya sumber nafkah. Bukan
tambahan penghasilan, bukan juga investasi pasif, melainkan tumpuan hidup
utama.
Jadi ketika penghasilan dari bisnis tidak mencukupi, pilihan
yang tersisa hanyalah berutang ke bank demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Lalu, ada satu bagian dari laporan itu yang menarik
perhatianku:
Pola krisis ekonomi, restrukturasi, dan dorongan menjadi wiraswasta terus berulang, dan semakin banyak orang terperangkap di dalamnya. Tapi kali ini, perjuangan untuk sekadar bertahan terasa jauh lebih berat dibanding masa krisis IMF dulu. Banyak pihak sepakat bahwa tak seharusnya para pekerja bergaji terus didorong untuk menjadi wiraswasta, karena langkah itu justru bisa menyeret ekonomi Korea Selatan ke jurang krisis besar. Solusi utamanya tetap satu, yakni menciptakan lapangan kerja. Andai saja para pelaku usaha kecil bisa dialihkan menjadi pekerja tetap, mungkin situasinya bisa tertolong. Namun, di tengah kondisi ekonomi sekarang, hal itu pun bukan perkara mudah.
Kedengarannya tak asing, bukan? Ya, Indonesia pun tengah bergulat
dengan masalah yang hampir sama.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada tahun 2022, ada
lebih dari 120 orang yang melamar untuk setiap satu lowongan kerja
yang tercatat dalam daftar nasional.
Ini jelas sinyal buruk bagi pasar tenaga kerja kita. Rasio
setinggi itu menandakan ketimpangan besar antara jumlah orang yang mencari
pekerjaan dan jumlah pekerjaan yang tersedia.
Kalau 120 orang berebut satu posisi, berarti peluang setiap
orang untuk diterima bahkan tak sampai satu persen!
Dalam ekonomi yang ideal, rasio ini biasanya berkisar antara
1 banding 1 hingga 3 banding 1.
Walau laporan-laporan tersebut lebih banyak mencakup
pekerjaan formal, gambaran yang dimunculkan sejatinya sudah cukup jelas,
tentang betapa sulitnya menemukan pekerjaan yang stabil di Indonesia saat
ini.
Maka tak mengherankan kalau kini semakin banyak orang
memilih jalan usaha sendiri, entah membuka toko kelontong, kedai teh, atau
warung seblak dan berbagai bisnis kecil lainnya yang menjamur di pinggir jalan.
Para ekonom punya istilah untuk ini, yaitu necessity
entrepreneurship. Berbeda dengan opportunity entrepreneurship,
di mana orang berbisnis karena melihat peluang pasar yang menjanjikan, necessity
entrepreneurship muncul ketika seseorang terpaksa berwirausaha karena
sulit sekali mencari pekerjaan.
Dan, sebagaimana yang dikatakan para ekonom, meningkatnya necessity
entrepreneurship justru menjadi sinyal bahwa ekonomi sedang lesu.
Sebelum ini, kuanggap bertambahnya jumlah orang yang
berbisnis sendiri sebagai pertanda positif, bahwa masyarakat semakin mandiri.
Tapi setelah diamati lebih dekat, kenyataannya tak selalu begitu.
Apabila orang-orang membuka toko karena pabrik tak lagi
membuka lowongan dan anak muda sulit mencari pekerjaan tetap, maka pertumbuhan
usaha kecil seperti ini sebenarnya menandakan lemahnya perekonomian.
Dan seperti yang tertuang dalam laporan Daishin Financial Group, solusi sesungguhnya ada pada penciptaan lebih banyak lapangan kerja, terutama yang formal.
Dengan pekerjaan yang stabil, penghasilan pun lebih pasti.
Dan apabila orang-orang memiliki pendapatan yang cukup, daya beli mereka ikut naik.
Dari sana, roda ekonomi berputar. Permintaan pasar meningkat,
investasi masuk, dan lebih banyak lapangan kerja baru pun tercipta.
Akhirnya aku mengerti alasan di balik munculnya toko-toko
kelontong, warung seblak, dan kedai teh di sekitar rumahku. Bukan semata-mata karena
termotivasi untuk maju, melainkan gara-gara kepepet untuk bertahan
hidup.
Karena itu, aku benar-benar berharap janji “19 juta lapangan kerja baru” dari pemerintah bisa segera terealisasi [.]
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak berupa tanggapan, pertanyaan, atau sapaan 😊