13 Oktober 2025

Ramai Orang Buka Toko Kelontong Sana Sini, Kenapa Sih?

Beberapa waktu belakangan aku sadar, toko kelontong di sekitar rumahku semakin bermunculan.

Pak Kun, tetangga persis di sebelah rumahku, sudah lebih dulu punya toko sejak enam tahun lalu. Tak jauh dari situ, sekitar 25 meter, ada Mbak Emma yang mulai berjualan tahun 2023. Dan kalau berjalan sedikit lebih jauh, tujuh atau delapan rumah lagi, berdiri toko kecil milik teman lama bapakku waktu SD.

Dua gang dari sini, di sebelah utara, ada dua toko kelontong yang sudah lama berdiri berhadap-hadapan (dan persaingannya seolah tak pernah berhenti). Nah, belum lama ini, ketika aku sedang jalan-jalan pagi bersama adikku, kami menemukan toko kelontong lainnya yang baru saja buka. Pun sudah dilengkapi SPBU mini dan freezer es krim.

Dari situ aku mulai bertanya-tanya, kenapa akhir-akhir ini begitu banyak orang yang membuka toko kelontong?

Pikiran pertamaku adalah, “Wah, pasti bisnis ini untungnya gede banget!” Tapi setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya tidak begitu.

Contohnya Pak Kun. Beliau dan keluarganya hidup sederhana, rumahnya juga biasa saja. Putrinya pulang-pergi kerja menaiki Honda Beat keluaran 2016, sementara beliau sendiri mengendarai motor CB yang tampak sudah lelah menua.

Sementara itu, Mbak Emma boleh saja terlihat lebih makmur. Perhiasan emas di leher dan jarinya sudah cukup menjadi pertanda. Namun ternyata penghasilan utamanya justru berasal dari usaha kos-kosan, bukan dari tokonya.

Dengan kata lain, menjalankan toko kelontong sebetulnya tak begitu menguntungkan. Paling tidak, cukup untuk hidup layak dan tidak kekurangan. (Di zaman yang serba berat seperti sekarang, barangkali itu juga harapan kebanyakan orang, asal bisa bertahan hidup tanpa perlu terjerat utang…)

Rasa penasaranku kemudian sedikit terjawab setelah aku membaca laporan dari Daishin Financial Group. Meski tidak secara langsung membahas soal toko kelontong, laporan itu menyinggung sesuatu yang menarik.

Korea Selatan kini sedang menghadapi yang disebut “krisis wiraswasta”. Jumlah pelaku usaha kecil di sana dua kali lebih banyak dibanding Jepang atau Amerika Serikat. Sayangnya, banyak dari mereka yang kesulitan membayar utang usaha, malahan lebih parah daripada pinjaman konsumsi. Para ekonom menilai situasi ini turut menekan perekonomian nasional.

Katanya, akar persoalannya ada pada ketergantungan para wiraswastawan terhadap bisnis mereka sebagai satu-satunya sumber nafkah. Bukan tambahan penghasilan, bukan juga investasi pasif, melainkan tumpuan hidup utama.

Jadi ketika penghasilan dari bisnis tidak mencukupi, pilihan yang tersisa hanyalah berutang ke bank demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lalu, ada satu bagian dari laporan itu yang menarik perhatianku:

Pola krisis ekonomi, restrukturasi, dan dorongan menjadi wiraswasta terus berulang, dan semakin banyak orang terperangkap di dalamnya. Tapi kali ini, perjuangan untuk sekadar bertahan terasa jauh lebih berat dibanding masa krisis IMF dulu. Banyak pihak sepakat bahwa tak seharusnya para pekerja bergaji terus didorong untuk menjadi wiraswasta, karena langkah itu justru bisa menyeret ekonomi Korea Selatan ke jurang krisis besar. Solusi utamanya tetap satu, yakni menciptakan lapangan kerja. Andai saja para pelaku usaha kecil bisa dialihkan menjadi pekerja tetap, mungkin situasinya bisa tertolong. Namun, di tengah kondisi ekonomi sekarang, hal itu pun bukan perkara mudah.

Kedengarannya tak asing, bukan? Ya, Indonesia pun tengah bergulat dengan masalah yang hampir sama.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada tahun 2022, ada lebih dari 120 orang yang melamar untuk setiap satu lowongan kerja yang tercatat dalam daftar nasional.

Ini jelas sinyal buruk bagi pasar tenaga kerja kita. Rasio setinggi itu menandakan ketimpangan besar antara jumlah orang yang mencari pekerjaan dan jumlah pekerjaan yang tersedia.

Kalau 120 orang berebut satu posisi, berarti peluang setiap orang untuk diterima bahkan tak sampai satu persen!

Dalam ekonomi yang ideal, rasio ini biasanya berkisar antara 1 banding 1 hingga 3 banding 1.

Walau laporan-laporan tersebut lebih banyak mencakup pekerjaan formal, gambaran yang dimunculkan sejatinya sudah cukup jelas, tentang betapa sulitnya menemukan pekerjaan yang stabil di Indonesia saat ini.

Maka tak mengherankan kalau kini semakin banyak orang memilih jalan usaha sendiri, entah membuka toko kelontong, kedai teh, atau warung seblak dan berbagai bisnis kecil lainnya yang menjamur di pinggir jalan.

Para ekonom punya istilah untuk ini, yaitu necessity entrepreneurship. Berbeda dengan opportunity entrepreneurship, di mana orang berbisnis karena melihat peluang pasar yang menjanjikan, necessity entrepreneurship muncul ketika seseorang terpaksa berwirausaha karena sulit sekali mencari pekerjaan.

Dan, sebagaimana yang dikatakan para ekonom, meningkatnya necessity entrepreneurship justru menjadi sinyal bahwa ekonomi sedang lesu.

Sebelum ini, kuanggap bertambahnya jumlah orang yang berbisnis sendiri sebagai pertanda positif, bahwa masyarakat semakin mandiri. Tapi setelah diamati lebih dekat, kenyataannya tak selalu begitu.

Apabila orang-orang membuka toko karena pabrik tak lagi membuka lowongan dan anak muda sulit mencari pekerjaan tetap, maka pertumbuhan usaha kecil seperti ini sebenarnya menandakan lemahnya perekonomian.

Dan seperti yang tertuang dalam laporan Daishin Financial Group, solusi sesungguhnya ada pada penciptaan lebih banyak lapangan kerja, terutama yang formal.

Dengan pekerjaan yang stabil, penghasilan pun lebih pasti.

Dan apabila orang-orang memiliki pendapatan yang cukup, daya beli mereka ikut naik.

Dari sana, roda ekonomi berputar. Permintaan pasar meningkat, investasi masuk, dan lebih banyak lapangan kerja baru pun tercipta.

Akhirnya aku mengerti alasan di balik munculnya toko-toko kelontong, warung seblak, dan kedai teh di sekitar rumahku. Bukan semata-mata karena termotivasi untuk maju, melainkan gara-gara kepepet untuk bertahan hidup.

Karena itu, aku benar-benar berharap janji “19 juta lapangan kerja baru” dari pemerintah bisa segera terealisasi [.] 

27 komentar

  1. Hahaha 19 juta lapangan pekerjaan baru itu dalam hal apa? Kalo dalam hal formal seperti kerja di pabrik atau ASN sih ngga bakalan deh, yang ada ramai PHK.

    Kalo dalam sektor informal sih sepertinya bisa bahkan lebih dari 19 juta, buktinya sekarang banyak pedagang kaki lima, ojek online, termasuk juga toko kelontong tapi sayangnya pada sepi pembeli karena memang daya beli masyarakat lagi rendah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gimana daya beli masyarakat nggak rendah Mas, upah nggak naik-naik sementara biaya hidup makin tinggi ๐Ÿ˜…

      Hapus
    2. lagi musim berhemat

      Hapus
  2. sekarang apalagi ada warung madura
    yang bakal menambah persaingan kalau kita buka toko kelontong atau prancangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mas, persaingan toko kelontong ini menurut saya juga makin ramai karena semua orang berlomba buka usaha serupa buat bertahan hidup.

      Hapus
  3. we are living in survival word..ramai yang buat bisnes utk tambah pendapatan...saya pun teringin berbisnes juga tapi tiada skills dan kekurangan masa juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, saya pun tak berapa pandai berniaga ๐Ÿ˜… Nak tambah income pun masih fikir nak mula dari mana.

      Hapus
  4. Kalo disini kebanyakan bukan toko kelontong tapi warung nasi atau lawuhan, ada yang rame tapi banyak yang sepi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya usaha ya, Mas, nggak semuanya bisa rame terus ๐Ÿ˜“

      Hapus
    2. Iya sih, kadang sehari dapat 300 ribu, besoknya bisa dapat 70 ribu, ngga stabil

      Hapus
  5. Thank you so much for sharing this. Warm greetings from Montreal, Canada ❤️ ๐Ÿ˜Š ๐Ÿ‡จ๐Ÿ‡ฆ

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow, hello all the way to Montreal! The internet really makes the world small ๐Ÿ˜„๐Ÿ‘‹

      Hapus
    2. It certainly does! I am happy to have found your blog! :)

      Hapus
  6. Penurut pendapat dan pengamatan saya, wah saya dah mirip pengamat ekonomi hehe
    tumbuh menjamur toko kelontong, sebenarnya tanda-tanda ekonomo nasional kurang baik. Pertanda, pemerintah belum maksimal dalam menciptakan lowongan pekerjaan. ya seperti yang singgung uraian di atas.
    Kalau warung kelontong terlalu banyak, persaingan harga semakin ketat. Sehingga dalam mengambil keuntungan super tipis. Kalau sudah tipis, paling ya cukup buat makan. Berharap balik modal, ah hanya mimpi. Menunggu pesaingnya tutup dan bangkrut dulu.

    BalasHapus
  7. Masuk akal sih, kalo semua orang kerjanya jualan, terus siapa yang mau beli?

    BalasHapus
  8. Tahniah ya yang berfikiran jauh untuk memajukan kehidupan..ertinya ada usaha untuk mencari kebahagiaan..kelangsungan hidup..ekonomi banyak dengan cara bisnes..

    BalasHapus
  9. Kalau aku ya,
    toko kelontong itu paling mudah untuk dibuka asalkan ada uangnya, tinggal beli barang grosir terus dijual kembali. Tidak seperti warung makan yang repot operasionalnya, apalagi kalau mau buka agency periklanan, bukan susah bukanya, namun susah cari pelanggannya. Atau buka perusahaan kontraktor yang perlu modal besar dan perijinan.
    Namun karena mudahnya buka toko kelontong, kebanyakan yang buka tidak punya cukup wawasan dan kemampuan mengelola bisnis even skala kecil begini. Akhirnya kalau nggak rugi ya tutup.
    Apa kita jualan donat aja ya? :D

    BalasHapus
  10. Jad teringat dengan statement gibran solusi untuk mengurangis pengangguran ialah dengan jadi pengusaha dan berbisnis wkwk, agak nihil karena posis orang yang cita-cita jadi pengusaha sama orang yang terpaksa untuk "berusaha" disini sangat beda posisi. Orang sekarang terjun buka usaha itu opsi terakhir setelah jenis loker yang mempersulit BEDA dengan jadi pengusaha era dulu, belum lagi modal hidup di jadiin resiko untuk buka usaha , dan juga gk semua berbakat atau mengambil resiko seperti buka toko kelontong yang bisa bangkrut atau dijadiin tempat kasbon. tapi mereka terpaksa

    BalasHapus
  11. kebetulan sekali mbak gw juga ahir ini kepikiran untuk buka usaha sendiri, entah apapun itu, dari pengalam gw, itu memag jadi opsi terakhir karna cari pekerjaan susah, kerja ikut orang juga gak bakalan enak, siapa tau setelah usaha sendiri bisa sukses dan bisa membuat lapangan kerja untuk orang lain.. pinginya sih seperti itu, ga tau kenyataanya ๐Ÿ˜

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama Mas, saya juga tipe orang yang kurang kuat juga kalau kerja ikut orang, makanya selama 7 tahun terakhir ini sreg banget WFH sendiri ๐Ÿ˜… Gimana nih Mas Khanif, bisnisnya sudah jalan?

      Hapus
  12. Malaysia juga sedang bergelut dengan masalah yang sama. Banyaknya peniaga dan usahawan kecil (wiraswasta) ketika ini disebabkan masalah ekonomi negara dan juga dunia. Demi bertahan hidup, menjadi wiraswasta adalah pilihan terbaik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, sana sini pun susah juga sekarang. Tak kisah kerja apa, janji halal, moga-moga Allah SWT mudahkan hidup kita ๐Ÿ™

      Hapus
  13. Kalo aku milih jadi pembelinya aja deh... abis gmn coba kalo semua orang pada buka toko kelontong, lah yang jadi pembelinya siapa... ๐Ÿ˜Š

    BalasHapus
  14. Mencabar hidup dalam ekonomi zaman sekarang dengan harga barang pun terus meningkat. Berniaga, salah satu usaha untuk mereka meningkatkan ekonomi keluarga. Biasanya orang berniaga ni pendapatan pun lebih daripada yang dapat gaji bulanan. Plus, kedai runcit ni satu keperluan harian mesti ada keuntungan hari-hari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asal pandai kawal duit keluar masuk, barulah boleh pusing modal cepat dan buat profit ๐Ÿ˜Š

      Hapus
  15. Wah belum ada artikel baru nih
    saya kalau posting kini pakai hape
    Maklum pc lagi rusak hehe
    Ya demi bertahan hidup :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kalau posting lewat HP, itu pakai aplikasi Blogger atau via browser Mas?

      Hapus

Silakan tinggalkan jejak berupa tanggapan, pertanyaan, atau sapaan ๐Ÿ˜Š

© m o f u m e m o
Maira Gall