5 Oktober 2025

Bacaan Mingguan 28 September – 4 Oktober: Utang, Oh Utang…

Setiap Minggu aku akan membagi kutipan dari buku yang sedang kubaca, khususnya yang menurutku menarik atau patut dipelajari.

Minggu ini (28 September – 4 Oktober), aku tengah asik menyelami Golden Steps to Respectability, Usefulness and Happiness karya John Mather Austin. Beliau adalah seorang pendeta, penulis, editor, sekaligus aktivis sosial ternama di New York pada abad ke-19. Buku ini ditulis pada tahun 1851 dan ditujukan untuk muda-mudi yang hendak menapaki kedewasaan.

Walaupun buku ini sudah berusia lebih dari 170 tahun, aku menilai sejumlah ide yang tertuang di dalamnya masih relevan bagi masyarakat di abad ke-21. Dan pada kesempatan kali ini, aku akan membagikan gagasan dari buku ini mengenai utang. Berikut kutipannya:

***

“Terlampau sering, kebiasaan buruk dalam mengelola uang dijadikan tolak ukur moral seseorang. Meskipun A dikenal baik dan santun, ketidakmampuan mengatur keuangan dapat mereduksi citra baiknya.

Maksudnya, orang dengan penghasilan $500 per tahun bisa saja menghabiskan $1.000, dan yang berpendapatan $2.000–$3.000 bisa menimbun utang hingga $5.000–$8.000, tergantung seberapa banyak yang bisa dipinjam atau seberapa besar kepercayaan orang lain padanya.

Baik si peminjam yang berutang terlalu banyak maupun si pemberi pinjaman sama-sama dirugikan oleh kebiasaan buruk semacam ini. Orang-orang yang tidak terlibat langsung pun memiliki tanggung jawab untuk berlaku jujur dan adil, yakni bersikap objektif terhadap situasi.

Tak seorang pun berhak membelanjakan uang yang belum diperolehnya atau yang sebenarnya tidak diperlukannya semata-mata demi memuaskan hasrat pribadi. Jika prinsip ini sungguh-sungguh diterapkan (dan kalau setiap orang yang suka berfoya-foya itu mendapat teguran yang pantas), lenyaplah masalah sosial ini dari muka bumi.

Begitu banyak orang heran mengapa mereka tak bisa berkecukupan sebagaimana orang di sekitarnya. Sering kali orang-orang ini menyalahkan bank, pajak, kebijakan pemerintah yang tidak adil, atau ekonomi sulit. Padahal kenyataannya, masalah sesungguhnya ada pada kebiasaan boros dan keinginan untuk memamerkan pengeluaran mereka sendiri.

Ambil contoh seorang pegawai kantor biasa. Setelah menikah, ia membeli rumah dan kemudian memenuhi rumah itu dengan perabotan mewah yang sebenarnya tak mampu dia beli.

Istrinya, bukannya ikut membantu pekerjaan rumah atau menambah penghasilan keluarga, malah mempekerjakan pembantu, sehingga menambah beban pengeluarannya. Sepuluh tahun berselang, ia tercekik utang sambil terus mengutuk keberuntungan yang seolah tak pernah berpihak padanya.

Teman-temannya hanya bisa geleng-geleng kepala, berkomentar bahwa itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri yang lalai mengatur uang.

Andai teman-temannya berkata jujur sejak awal, dan dia pun realistis sejak awal, niscaya ia tidak akan sampai terperosok dalam masalah besar.

Sayangnya, kebiasan konsumtif ini terlihat di setiap lapisan masyarakat.

Pemuda lajang di pinggiran kota yang mengantongi $10–$15 per bulan bisa saja menghabiskan seluruh pendapatannya untuk pesta dan pakaian mahal.

Seorang pegawai yang berpenghasilan $300–$500 per tahun mungkin menggunakan sebagian besar uangnya untuk minuman dan cerutu.

Lalu ada pedagang yang membeli rumah mahal, mengadakan jamuan besar, dan memelihara kuda dengan darah pejantan unggul, semuanya berdasarkan asumsi akan ‘balik modal’ di masa depan.

Berapa pun pendapatan seseorang, jika ia ahli dalam membelanjakan uang, akan selalu dirasa kurang uangnya itu. Kalau bukan pesta, minuman, dan jamuan mewah yang menguras kantongnya, maka proyek pembangunan, judi, atau investasi berisiko yang akan menjadi biang keladinya.

Semakin tebal kantongnya, semakin cepat tipis isinya. Pria lajang yang tidak menabung setidaknya $6 per minggu kemungkinan besar juga tidak akan mampu menabung $60. Dan siapa pun yang tak mulai menabung sejak tahun pertama bekerja biasanya akan menghadapi kesulitan finansial seumur hidup.

Siapa pun yang mampu bekerja dengan badan atau pikirannya tidak semestinya menggantungkan hidup pada orang lain, sebagaimana yang kadang dilakukan sebagian orang.

Kesalahan yang kerap dilakukan oleh orang boros adalah mengira bahwa membayar utang pada akhirnya berarti mereka sudah menjalankan kewajibannya. Kenyataannya, pandangan itu salah.

Apabila A menjual barang atau jasanya secara kredit dan baru menerima pembayaran setelah satu atau dua tahun kemudian, itu berarti haknya belum benar-benar terpenuhi saat ini.

A bisa kehilangan sebagian dari jumlah yang seharusnya diterima, serta membuang waktu, tenaga, dan sumber daya untuk menagihnya. Dengan demikian, satu-satunya cara yang benar untuk melunasi utang adalah membayar sesuai waktu yang disepakati.

Orang yang sepanjang hidupnya terus-menerus bergelut dengan tagihan dan pinjaman akhirnya hidup mengandalkan bantuan orang lain. Ia menjadi beban bagi orang di sekitarnya, sekalipun semua utangnya akhirnya dilunasi.

Besar pasak daripada tiang adalah penyebab banyak kejahatan dan kesengsaraan di tengah masyarakat. Pegawai yang hidup melebihi penghasilannya cepat atau lambat bisa menjadi penjudi atau pencuri. Pedagang yang tidak hemat kemungkinan besar lama-kelamaan akan menjadi penipu.

Jika kita melihat orang tua, saudara, teman, atau rekan kerja yang berlebih-belihan, hendaknya kita waspada. Ketidakjujuran atau tabiat buruk lainnya mungkin sedang tumbuh, biarpun ia sendiri belum menyadarinya sekarang.

Orang yang bijak dan bermoral tinggi akan mengerti bahwa membelanjakan lebih dari yang seharusnya, walau mampu, tetaplah salah dan merugikan.

Tak peduli seberapa kaya kita, tidak pantas menyia-nyiakan uang untuk kesenangan pribadi, gaya hidup mubazir, atau pamer, apalagi bila uang itu bisa digunakan untuk menghapus kemiskinan dan menciptakan kehidupan yang bermanfaat bagi sesama.

Kendati demikian, sikap masyarakat terhadap kebiasaan konsumtif mustahil bisa berubah dengan cepat. Jadi, lebih mudah memahami dan menjalankan prinsip hidup berkecukupan oleh diri sendiri dibanding mengubah seluruh opini publik.

Terlalu sering kita mengabaikan dan tidak mengkritik keegoisan, ketidakjujuran, serta kebiasaan memboroskan uang yang jelas-jelas belum diperoleh, padahal tindakan itu sudah merugikan orang lain. Seandainya kita benar-benar menyadari betapa salahnya perilaku itu, tentu sudah sejak lama kita dengan terang-terangan mengecamnya.”

***

Pesan moral:

Jadilah pribadi yang bertanggung jawab, jauhi pemborosan, patuhi kewajiban, dan renungkan dampak pengeluaran kita bagi diri sendiri maupun orang lain.

8 komentar

  1. Sekarang eranya konsumtif
    Kebanyakan Orang bekerja (termasuk saya)karena ingin membeli ini dan itu
    Bukan untuk kebutuhan dasar.
    Bekerja dapat gaji, eh beli hape baru :D
    Kadang saya suka heran, orang yang penghasilannya jauh dibawah saya, kadang bisa bangun rumah dan sebagainya.Saya kok stagnan, saya berarti ada kesalahan dalam menata keungan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sendiri juga masih kesusahan mengelola keuangan, Mas, gampang kepingin juga hehehe...

      Eh tapi soal ekonomi stagnan bukan berarti ada kesalahan dalam menata keuangan, Mas. Mungkin bisa dibandingkan dulu dengan kondisi setahun lalu, di tanggal 5 Oktober ini, kondisi ekonomi keluarga gimana? Apa betul-betul sama? Atau ada perubahan, baik itu bertambah atau berkurang? (Kalau saya sih ya mendoakan ada pertambahan, Mas 🤲)

      Hapus
  2. Intisarinya lengkap banget mbak, saya baru ngeh akhirnya sekarang, "Dulu saya mau minjamin uang ke teman karena saya lihat dia amanah tiap pinjam selalu kembaliin waktu sudah gajian, tapi berakhir jadi keseringan dan membuat saya benar-benar jadi tabungan darurat padahal pinjam uang bukan urgent alias buat belanja dan sejenis konsumtif yang bisa di tahan waktu gajian, tapi dia maksa
    yang membuat perencanaan keuangan saya jadi berantakan. Padahal cukup dekat sampai saya berani pinjamin uang berapa x tapi seperti statement di awal ketidakmampuan mengelola uangnya mereduksi citra baiknya di saya kini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya kan Mba? Walaupun janjinya buat bayar selalu ditepati, tapi entah kenapa image orang-orang yang pinjam duit buat hal-hal yang sifatnya konsumtif (alias nggak perlu-perlu banget) malah jadi jelek di kita. Padahal sifat utang kan harusnya buat kebutuhan yang benar-benar kepepet gitu, eh malah buat enak-enakan 😓 Dan seperti cerita Mba Inia malah bikin money management sendiri ikut berantakan ☹️

      Hapus
  3. Firstly, nak ucapkan terima kasih datang ke blog saya ya..semoga terjalin hubungan baik di arena blogging..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih juga sebab sudi singgah di sini. Insya-Allah, harap kita boleh terus berkongsi dan berinteraksi lepas ni 🙏🏻

      Hapus
  4. Second~ follow you blog..semoga ada interaksi antara blogger ya..teruskan blog dan mencari followers lain..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas follow-nya 😊 Doakan saya terus rajin update blog dan blogwalking ke blog kawan-kawan lain!

      Hapus

Silakan tinggalkan jejak berupa tanggapan, pertanyaan, atau sapaan 😊

© m o f u m e m o
Maira Gall