Setiap Minggu aku akan membagi kutipan dari buku yang sedang kubaca, khususnya yang menurutku menarik atau patut dipelajari.
Minggu ini
(28 September – 4 Oktober), aku tengah asik menyelami Golden Steps to Respectability,
Usefulness and Happiness karya John Mather Austin. Beliau adalah
seorang pendeta, penulis, editor, sekaligus aktivis sosial ternama di New York
pada abad ke-19. Buku ini ditulis pada tahun 1851 dan ditujukan untuk muda-mudi
yang hendak menapaki kedewasaan.
Walaupun buku
ini sudah berusia lebih dari 170 tahun, aku menilai sejumlah ide yang tertuang
di dalamnya masih relevan bagi masyarakat di abad ke-21. Dan pada kesempatan
kali ini, aku akan membagikan gagasan dari buku ini mengenai utang. Berikut
kutipannya:
***
“Terlampau
sering, kebiasaan buruk dalam mengelola uang dijadikan tolak ukur moral
seseorang. Meskipun A dikenal baik dan santun, ketidakmampuan mengatur keuangan
dapat mereduksi citra baiknya.
Maksudnya,
orang dengan penghasilan $500 per tahun bisa saja menghabiskan $1.000,
dan yang berpendapatan $2.000–$3.000 bisa menimbun utang hingga $5.000–$8.000,
tergantung seberapa banyak yang bisa dipinjam atau seberapa besar kepercayaan
orang lain padanya.
Baik si
peminjam yang berutang terlalu banyak maupun si pemberi pinjaman sama-sama
dirugikan oleh kebiasaan buruk semacam ini. Orang-orang yang tidak terlibat
langsung pun memiliki tanggung jawab untuk berlaku jujur dan adil, yakni bersikap
objektif terhadap situasi.
Tak seorang
pun berhak membelanjakan uang yang belum diperolehnya atau yang sebenarnya
tidak diperlukannya semata-mata demi memuaskan hasrat pribadi. Jika prinsip ini
sungguh-sungguh diterapkan (dan kalau setiap orang yang suka berfoya-foya itu mendapat
teguran yang pantas), lenyaplah masalah sosial ini dari muka bumi.
Begitu
banyak orang heran mengapa mereka tak bisa berkecukupan sebagaimana orang di
sekitarnya. Sering kali orang-orang ini menyalahkan bank, pajak, kebijakan
pemerintah yang tidak adil, atau ekonomi sulit. Padahal kenyataannya, masalah
sesungguhnya ada pada kebiasaan boros dan keinginan untuk memamerkan pengeluaran
mereka sendiri.
Ambil
contoh seorang pegawai kantor biasa. Setelah menikah, ia membeli rumah dan
kemudian memenuhi rumah itu dengan perabotan mewah yang sebenarnya tak mampu
dia beli.
Istrinya,
bukannya ikut membantu pekerjaan rumah atau menambah penghasilan keluarga,
malah mempekerjakan pembantu, sehingga menambah beban pengeluarannya. Sepuluh
tahun berselang, ia tercekik utang sambil terus mengutuk keberuntungan yang
seolah tak pernah berpihak padanya.
Teman-temannya
hanya bisa geleng-geleng kepala, berkomentar bahwa itu adalah akibat dari perbuatannya
sendiri yang lalai mengatur uang.
Andai
teman-temannya berkata jujur sejak awal, dan dia pun realistis sejak awal,
niscaya ia tidak akan sampai terperosok dalam masalah besar.
Sayangnya,
kebiasan konsumtif ini terlihat di setiap lapisan masyarakat.
Pemuda
lajang di pinggiran kota yang mengantongi $10–$15 per bulan bisa saja
menghabiskan seluruh pendapatannya untuk pesta dan pakaian mahal.
Seorang
pegawai yang berpenghasilan $300–$500 per tahun mungkin menggunakan sebagian
besar uangnya untuk minuman dan cerutu.
Lalu ada
pedagang yang membeli rumah mahal, mengadakan jamuan besar, dan memelihara kuda
dengan darah pejantan unggul, semuanya berdasarkan asumsi akan ‘balik modal’ di
masa depan.
Berapa pun
pendapatan seseorang, jika ia ahli dalam membelanjakan uang, akan selalu dirasa
kurang uangnya itu. Kalau bukan pesta, minuman, dan jamuan mewah yang menguras
kantongnya, maka proyek pembangunan, judi, atau investasi berisiko yang akan
menjadi biang keladinya.
Semakin
tebal kantongnya, semakin cepat tipis isinya. Pria lajang yang tidak menabung
setidaknya $6 per minggu kemungkinan besar juga tidak akan mampu menabung $60.
Dan siapa pun yang tak mulai menabung sejak tahun pertama bekerja biasanya akan
menghadapi kesulitan finansial seumur hidup.
Siapa pun
yang mampu bekerja dengan badan atau pikirannya tidak semestinya menggantungkan
hidup pada orang lain, sebagaimana yang kadang dilakukan sebagian orang.
Kesalahan
yang kerap dilakukan oleh orang boros adalah mengira bahwa membayar utang pada
akhirnya berarti mereka sudah menjalankan kewajibannya. Kenyataannya, pandangan
itu salah.
Apabila A
menjual barang atau jasanya secara kredit dan baru menerima pembayaran setelah
satu atau dua tahun kemudian, itu berarti haknya belum benar-benar terpenuhi saat
ini.
A bisa
kehilangan sebagian dari jumlah yang seharusnya diterima, serta membuang waktu,
tenaga, dan sumber daya untuk menagihnya. Dengan demikian, satu-satunya cara
yang benar untuk melunasi utang adalah membayar sesuai waktu yang disepakati.
Orang yang
sepanjang hidupnya terus-menerus bergelut dengan tagihan dan pinjaman akhirnya
hidup mengandalkan bantuan orang lain. Ia menjadi beban bagi orang di
sekitarnya, sekalipun semua utangnya akhirnya dilunasi.
Besar pasak
daripada tiang adalah penyebab banyak kejahatan dan kesengsaraan di tengah
masyarakat. Pegawai yang hidup melebihi penghasilannya cepat atau lambat bisa
menjadi penjudi atau pencuri. Pedagang yang tidak hemat kemungkinan besar
lama-kelamaan akan menjadi penipu.
Jika kita
melihat orang tua, saudara, teman, atau rekan kerja yang berlebih-belihan, hendaknya
kita waspada. Ketidakjujuran atau tabiat buruk lainnya mungkin sedang tumbuh,
biarpun ia sendiri belum menyadarinya sekarang.
Orang
yang bijak dan bermoral tinggi akan mengerti bahwa membelanjakan lebih dari
yang seharusnya, walau mampu, tetaplah salah dan merugikan.
Tak peduli
seberapa kaya kita, tidak pantas menyia-nyiakan uang untuk kesenangan pribadi,
gaya hidup mubazir, atau pamer, apalagi bila uang itu bisa digunakan untuk
menghapus kemiskinan dan menciptakan kehidupan yang bermanfaat bagi sesama.
Kendati
demikian, sikap masyarakat terhadap kebiasaan konsumtif mustahil bisa berubah
dengan cepat. Jadi, lebih mudah memahami dan menjalankan prinsip hidup
berkecukupan oleh diri sendiri dibanding mengubah seluruh opini publik.
Terlalu
sering kita mengabaikan dan tidak mengkritik keegoisan, ketidakjujuran, serta
kebiasaan memboroskan uang yang jelas-jelas belum diperoleh, padahal tindakan
itu sudah merugikan orang lain. Seandainya kita benar-benar menyadari betapa
salahnya perilaku itu, tentu sudah sejak lama kita dengan terang-terangan
mengecamnya.”
***
Pesan moral:
Jadilah pribadi yang bertanggung jawab, jauhi pemborosan, patuhi kewajiban, dan renungkan dampak pengeluaran kita bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sekarang eranya konsumtif
BalasHapusKebanyakan Orang bekerja (termasuk saya)karena ingin membeli ini dan itu
Bukan untuk kebutuhan dasar.
Bekerja dapat gaji, eh beli hape baru :D
Kadang saya suka heran, orang yang penghasilannya jauh dibawah saya, kadang bisa bangun rumah dan sebagainya.Saya kok stagnan, saya berarti ada kesalahan dalam menata keungan
Saya sendiri juga masih kesusahan mengelola keuangan, Mas, gampang kepingin juga hehehe...
HapusEh tapi soal ekonomi stagnan bukan berarti ada kesalahan dalam menata keuangan, Mas. Mungkin bisa dibandingkan dulu dengan kondisi setahun lalu, di tanggal 5 Oktober ini, kondisi ekonomi keluarga gimana? Apa betul-betul sama? Atau ada perubahan, baik itu bertambah atau berkurang? (Kalau saya sih ya mendoakan ada pertambahan, Mas 🤲)
Intisarinya lengkap banget mbak, saya baru ngeh akhirnya sekarang, "Dulu saya mau minjamin uang ke teman karena saya lihat dia amanah tiap pinjam selalu kembaliin waktu sudah gajian, tapi berakhir jadi keseringan dan membuat saya benar-benar jadi tabungan darurat padahal pinjam uang bukan urgent alias buat belanja dan sejenis konsumtif yang bisa di tahan waktu gajian, tapi dia maksa
BalasHapusyang membuat perencanaan keuangan saya jadi berantakan. Padahal cukup dekat sampai saya berani pinjamin uang berapa x tapi seperti statement di awal ketidakmampuan mengelola uangnya mereduksi citra baiknya di saya kini.
Ya kan Mba? Walaupun janjinya buat bayar selalu ditepati, tapi entah kenapa image orang-orang yang pinjam duit buat hal-hal yang sifatnya konsumtif (alias nggak perlu-perlu banget) malah jadi jelek di kita. Padahal sifat utang kan harusnya buat kebutuhan yang benar-benar kepepet gitu, eh malah buat enak-enakan 😓 Dan seperti cerita Mba Inia malah bikin money management sendiri ikut berantakan ☹️
HapusFirstly, nak ucapkan terima kasih datang ke blog saya ya..semoga terjalin hubungan baik di arena blogging..
BalasHapusTerima kasih juga sebab sudi singgah di sini. Insya-Allah, harap kita boleh terus berkongsi dan berinteraksi lepas ni 🙏🏻
HapusSecond~ follow you blog..semoga ada interaksi antara blogger ya..teruskan blog dan mencari followers lain..
BalasHapusTerima kasih atas follow-nya 😊 Doakan saya terus rajin update blog dan blogwalking ke blog kawan-kawan lain!
Hapus