2 Oktober 2025

Inilah Jati Diriku, Inilah “Brand”-ku

Paragraf-paragraf di bawah kubaca di buku Great Leaders Write karya Hong Sun-pyo:

“Membangun brand berarti menciptakan benteng pertahanan yang sulit ditembus. Dengan menulis, Anda bisa memperluas sekaligus memperdalam jarak yang menjaga bisnis tetap aman dari kompetitor. Inti dari branding sendiri adalah kemampuan menjelaskan perbedaan Anda dibanding pihak lain.

Baik individu, perusahaan, maupun produk, membangun brand tidak bisa hanya dengan menyebarkan awareness. Esensi branding ada pada kemampuan menunjukkan saya yang berbeda dari yang lain. Kata brand sendiri sebenarnya lahir dari makna ini.

Pada mulanya, brand berarti cap besi panas yang digunakan untuk menandai hewan ternak seperti sapi atau babi. Walau hewan-hewan tersebut bercampur di padang rumput, setiap pemilik bisa mengenali ternaknya berkat pola cap yang khas. Dengan demikian, brand pada dasarnya berfungsi untuk menekankan jati diri yang unik.”

Omong-omong, buku itu tidak kubeli, melainkan kudapat langsung dari blog si penulis. Beliau membagikannya secara cuma-cuma, walau belum versi lengkap, supaya pembacanya bisa tetap mendapat manfaat dari ilmu di dalamnya.

Great Leaders Write mengulas soal kekuatan menulis. Lebih tepatnya, menulis mampu menumbuhkan kualitas kepemimpinan. Tapi lebih dari itu, menulis dengan baik juga bisa menjadi jalan untuk membangun brand diri.

Waktu pertama kali membacanya, aku langsung bertanya-tanya, “Hah? Beneran menulis bisa membangun brand?” Aku sama sekali tak pernah memandangnya begitu. Sekarang ‘kan zamannya visual. YouTube, TikTok, dan lainnya jadi tumpuan para pemasar.

Anehnya, profesiku sebetulnya adalah freelance writer. Aku menulis setiap hari, mulai untuk UMKM sampai korporasi besar.

Meski begitu, aku masih ragu, apa iya menulis saja benar-benar ampuh untuk personal branding? Kalau untuk perusahaan, masuk akal. Tapi untuk individu? Aku tak begitu yakin. Usai membaca beberapa halaman lagi, kututup buku itu dan beralih ke Blogger.

Seperti biasa, rutinitasku adalah mengecek Daftar Bacaan. Sejauh ini aku sudah mengikuti sepuluh blog.

Temanya sengaja kupilih berbeda-beda supaya bacaanku lebih bervariasi. Aku percaya, semakin banyak ragam yang kubaca, semakin luas pula wawasanku.

Misalnya Djangkaru Bumi dengan tulisannya tentang acara-acara budaya dan sosial sampai kuliner khas.

Ada pula Travel My Way yang rajin membagikan kisah pribadi ketika menjelajahi dunia.

Dan tentu saja ada Ensiklopedia Buol Rlipunoto, khusus membahas tentang Kabupaten Buol di Sulawesi Tengah dari berbagai sisi.

Semua blogger itu kelihatan begitu yakin dengan apa yang mereka bawakan. Masing-masing paham betul dengan bidangnya. Begitu jelas brand-nya. Sedangkan aku? Rasanya seperti sapi tak bertuan.

Begitu banyak niche yang sudah kucoba, sampai tak bisa kuingat lagi jumlahnya. Di awal menulis lewat mofumemo, aku rutin menulis cerita motivasi setiap hari.

Setelah itu kutinggalkan dan beralih ke topik ekonomi serta perkembangan kecerdasan buatan (AI). Lagi-lagi, tak bertahan lama. Malah tulisanku diberi label “thin content” oleh Google.

Ujung-ujungnya aku menulis sesuka hati, apa pun yang terlintas di kepala. Jika branding berarti harus punya jati diri yang unik, maka aku jelas gagal. Setidaknya bila patokannya buku itu. Sementara blogger lain tampak begitu mudah mencari dan menjalani identitasnya.

Kurasa akar persoalannya adalah aku sendiri tidak terlalu mengenal siapa diriku. Dari kecil, aku memang mudah sekali terseret pengaruh sekitar.

Kalau teman-teman bilang band Ungu paling keren, aku pun hanya mau dengar lagu Ungu. Kalau mereka bilang sepatu kaca sedang hits, tak butuh waktu lama sampai aku merengek minta dibelikan.

Kebiasaan itu tidak pernah benar-benar hilang. Sekarang pun, aku masih sering kesulitan mempertahankan pendapat pribadi. Kadang aku sudah yakin. Tapi begitu ada pendapat lain yang terdengar lebih kuat, aku langsung goyah. Dan akhirnya, aku lagi-lagi terbawa arus.

Mungkin inilah alasannya aku belum juga menemukan arah dalam blogging.

Namun aku harus jujur pada diri sendiri. Aku bukan seorang jack of all trades. Aku bukan sosok yang serba bisa.

Meski sekarang AI sedang ramai dibicarakan, aku tak punya latar ilmu di sana. Begitu juga dengan ekonomi dan bidang-bidang lainnya.

Aku hanyalah diriku. Seorang lulusan sarjana Bahasa Inggris dan penulis lepas berkepala dua. Titik.

Andaikan seseorang menyarankan, “Kenapa nggak ngeblog tentang bahasa Inggris aja? Itu ‘kan jurusan kuliahmu.” Aku tahu aku akan menolak. Aku tetap merasa tidak sanggup.

Alasanku sederhana saja: website belajar bahasa Inggris sudah bertebaran di seluruh jagat internet. Pemiliknya pun jauh lebih punya credibility (kredibilitas) dalam mengajar bahasa Inggris dibanding aku. Lantas apa bedanya blogku nanti?

Itu membuatku lagi-lagi tersandung pada pertanyaan besar: apa sebenarnya brand-ku?

Dan semakin kupikirkan, semakin tidak nyaman rasanya. Pertanyaan itu justru membuatku murung.

***

Tak bisa kupungkiri, pikiran tentang menemukan dan menceritakan kisahku sendiri melekat di kepalaku belakangan ini.

Kalau kupinjam dari definisi dalam buku Great Leaders Write, maka yang sebenarnya kupikirkan adalah: bagaimana caranya membangun brand-ku lewat blog? Bagaimana caranya supaya blogku punya jati diri yang unik?

Siang dan malam aku bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dan, aneh tapi nyata, jawabannya muncul justru ketika aku sedang berada di toilet.

Sepertinya masalahku bukan karena aku gampang goyah, atau karena aku tak punya cerita yang pantas ditulis. Bisa jadi yang jadi kendala adalah aku belum tahu cara yang benar untuk menuturkan ceritaku.

Aku akui, aku tak pernah menganggap hidupku cukup menarik untuk dibahas. Makanya aku selalu memilih menulis tentang hal-hal lain.

Apa pun itu, yang terpenting selain tentang diriku.

Aku takut dinilai negatif, apalagi sampai dihakimi. Takut orang mengira hidupku hambar, biasa-biasa saja.

Namun perlahan, ketakutan itu sedikit demi sedikit mulai memudar. Perubahannya berawal ketika aku tak sengaja menemukan channel YouTube Myeong Je-gal, atau yang lebih akrab dipanggil Dandan.

Sudah beberapa minggu ini aku rutin menonton videonya. Aku juga merasa visi-visinya sejalan denganku, kontennya pun fun, maka aku pun tak ragu menekan tombol subscribe. Tidak berhenti di situ, aku juga mengikuti blog dan newsletter-nya.

Sebagai informasi, sebagian besar konten Dandan membahas bagaimana menjadikan menulis (khususnya menulis keseharian) sebagai kebiasaan. Dandan juga sering membagikan pengalamannya bertahan sebagai self-employed di tengah persaingan zaman sekarang.

Dalam salah satu tulisan terbarunya di blog, Dandan membahas istilah “unique narrative capital” (“modal narasi unik”), atau yang menurut Google artinya kurang lebih adalah nilai yang terkandung dalam narasi brand yang memberinya keunggulan kompetitif.

Ternyata, Dandan pun mengakui dirinya sempat kesulitan kala harus bercerita tentang hidupnya sendiri. Buku ketiganya yang sedang digarap bahkan berfokus pada tema itu.

Namun pada akhirnya, ia sampai pada sebuah kesimpulan: untuk bisa menyampaikan cerita dengan baik, kita butuh authenticity (keaslian). Kita perlu membuat orang merasa, “Orang ini tulus,” ketika membaca tulisan atau mendengar kata-kata kita.

Authenticity, ya?” batinku. Kata itu terdengar asing. Jarang aku menjumpainya dalam percakapan sehari-hari, kecuali ketika sedang menulis artikel untuk klien marketing.

Konsep itu bagai beruang. Aku tahu wujudnya dan bisa membayangkannya. Tapi kalau tak pergi ke Kebun Binatang Surabaya, aku takkan pernah melihatnya langsung.

Dari situ aku mulai berpikir, apa sih arti authenticity itu? Terlebih ketika aku menulis sebagai diriku yang sesungguhnya?

Kata Dandan, pada awalnya beliau memaknai authenticity sebagai “menyampaikan perasaan tanpa tedheng aling-aling”. Aku pun sependapat. Namun setelah itu, beliau menceritakan sebuah pengalaman yang mengetuk hatiku.

“Dulu aku percaya bahwa menjadi authentic artinya mengungkapkan perasaan apa adanya. Aku ingin menunjukkan versi diriku tanpa topeng. Aku merasa perlu menanggalkan identitas sosial yang rapi kubangun dan menyingkap sosok di baliknya. Tapi balasan yang kudapat justru kritik.

Ketika aku memposting foto progress belajarku tentang grammar, ada DM berbunyi, ‘Sok rajin deh.’

Padahal aku benar-benar tulus menulisnya, jadi aku sangat bingung kenapa itu terjadi. Setelah menenangkan diri, akhirnya aku mengerti. Aku terlalu ingin dipuji. Dalam hati aku ingin orang berpikir, ‘Wah, Dandan rajin, ya.’ Itulah kenapa reaksi orang jadi negatif.

Manusia amat sensitif terhadap sikap pamer. Sama seperti dalam pertemanan, kita lebih nyaman dengan orang yang membagikan kebaikannya, bukan dengan mereka yang hanya sibuk memamerkan kebaikannya.”

Cerita itu terasa relatable.

Misalnya, ketika aku melihat teman kuliah memposting betapa suksesnya karier yang ia bangun, sering muncul rasa minder.

Pikiran seperti, “Kenapa aku masih jalan di tempat?” pun muncul. Karena itu aku bisa memahami bagaimana postingan semacam itu berdampak negatif bagi orang lain.

Jika disederhanakan, pesan Dandan adalah authenticity bukan berarti memamerkan diri. Bukan juga sekadar melemparkan kejujuran mentah sambil berkata, “Beginilah aku apa adanya.” Authenticity adalah soal empati, ketika kita mampu menulis dengan memposisikan diri sebagai pembaca.

Tulisan yang authentic, pada akhirnya, adalah tulisan yang mampu menggali cerita yang paling dibutuhkan pembaca, lalu menyampaikannya dengan tulus dan penuh kepedulian.

Contoh konkretnya begini. Jika aku ingin menulis tentang kesulitan ekonomi menjelang kepala tiga, aku tak cukup hanya menulis, “Gila, umur 28 tapi masih belum punya tabungan.” Aku harus mencari makna yang lebih dalam.

Apa sisi dari kesulitan ekonomi itu yang bisa menyentuh pembaca?

Bisa jadi rasa malu.

Bisa jadi rasa frustrasi.

Bisa juga tekanan untuk punya tabungan yang memadai di usia tertentu.

Atau mungkin kombinasi semuanya sekaligus.

Yang jelas, tulisan itu jangan berubah jadi keluhan atau ajang mengundang belas kasihan. Aku mesti menghadirkan cerita yang mana pembaca nantinya bisa melihat perjuanganku sekaligus merasakan ketulusan di baliknya, plus menemukan titik kesamaan yang membuat mereka merasa, “Oh, ternyata ada juga orang yang berpikiran/berperasaan sama sepertiku.” Dengan begitu, mereka bisa merasa lebih dekat denganku.

Kesimpulannya, brand yang kuat adalah brand yang authentic. Artinya, itulah langkah yang harus kuambil dalam menulis untuk blog, yakni menampilkan diriku apa adanya, namun dengan tulus.

Betul kalau sekarang ini aku cuma penulis lepas yang masih berjuang mencari jati diri dan kestabilan finansial. Tapi kisahku tak sesempit itu.

Enam tahun terakhir memberiku banyak ilmu dari pekerjaan ini. Aku juga belajar kearifan tentang cara mengatur keuangan sendiri, dengan minim bantuan orang tua. Barangkali inilah yang oleh Dandan sebut sebagai “modal narasi unik”. Inilah “modal narasi unik”-ku.

Dengan modal itu, aku dapat berbagi apa-apa saja yang kupelajari, mulai dari cara menjadi freelance writer, cara bertahan hidup dengan uang pas-pasan, sampai pelajaran tentang bagaimana menjadi pribadi dewasa yang baik lewat observasi pada orang di sekitar. Itulah potensi brand-ku.

Ketika kujabarkan dengan gamblang, akhirnya kusadari bahwa hidupku tidak sesederhana dan membosankan seperti yang selama ini kuyakini. Dan rasanya sungguh melegakan.

Selama bertahun-tahun aku mengira diriku biasa saja, tidak penting, dan tidak akan ada yang mau mendengar ceritaku. Namun nyatanya tidak begitu.

Aku tidak lagi merasa bagai sapi tak bertuan. Kini aku tahu di mana ‘peternakanku’, di mana aku seharusnya berada. Selanjutnya, yang perlu kulakukan hanyalah terus menunjukkan di mana aku seharusnya berada dengan menyampaikan kisah tentang diriku dengan cara yang benar.

Untukku, sekaligus untuk orang lain.

Karena itulah makna brand yang sesungguhnya. Credibility memang penting, tetapi apa artinya jika tidak dibarengi authenticity? [.]

17 komentar

  1. Intinya sih, "Jadilah diri sendiri"
    itu saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul 😊 Pokoknya harus bisa jadi diri sendiri!

      Hapus
    2. Mau aku follback, tp widget followernya blm ktm ya... 😊

      Hapus
    3. Eh iya, terima kasih sudah diingatkan 🥹

      Hapus
  2. Mas Djangkaru bumi emang konsisten menulis tentang budaya ya terutama budaya Betawi. Kalo aku blognya gado-gado, kadang nulis cerpen, kadang bahas android dll.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, Mas. Dan karena saya orang Jawa, jadinya senang baca konten-konten beliau. Banyak menambah wawasan tentang budaya yang berlainan 😆

      Eh, walaupun gado-gado tetapi Mas Agus kan tetap konsisten. Kata saya sih keren banget 👏

      Hapus
    2. Mas Agus mah gitu.. senengnya ama gado-gado dia... soalnya kalo diksh krupuk gak mau, harganya mahal katanya.

      Hapus
    3. nah ini termasuk blogger lama, gaya penulisannya keren, runut

      Hapus
  3. kalo gw apa yaa ? 🤣, di blog gw nulis cerita kejadian yang gw alami, kadang nulis apa yang saat itu terlintas di kepala, dari awal bikin blog memang gak pernah punya plan untuk nulis satu tema tertentu, kalo pun ada informasi yang ingin gw bagikan, gw akan nulis dengan apa yang gw bisa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau boleh saya menilai, brand Mas Khanif bisa dibilang "personal storyteller" gitu ya. Saya sendiri sih suka baca-baca blog seperti punya Mas Khanif, karena rasanya seperti denger cerita dari temen gitu 😊

      Hapus
    2. Ciyeee mas Khanif punya fans blognya tuh.. kalo blogku serem mbak, jangan dibaca ya... nanti gak bs tidur 😁

      Hapus
    3. kalau dia cerpen percintaan yang gagal :D

      Hapus
  4. Saya sudah cukup lama nge blog, ya bisa dikatakan 15 tahunan
    mencari jati diri, butuh waktu yang panjang
    saya menulis ya asal menulis, niatnya ingin belajar cara menyampaikan pendapat lewatan tulisan. Memang tidaklah mudah, lebih gampang berbicara daripada menulis.
    Tidak menyangka, menulis bisa menghasilkan duit, dan saat itu sebelum ada tiktok, lumayan gede juga lo.
    Terus belajar dan terus belajar
    Eh saya juga punya channel youtube ,awalnya juga bingung mau niche apa. Kini lebih ke ondel-ondel Betawi.
    Ya semua berawal dari gado-gado, lambat laun akan menemukan niche atau brand dengan seiring waktu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul ya, Mas. Orang lain 'kan sering menilai kesuksesan si A dan B dari apa yang ditampakkan sekarang, ngiranya memang sedari awal sudah sukses, padahal nggak ada yang namanya baru mencoba langsung sukses 😅

      Hapus
  5. Dulu jika dapat job dari luar negeri, satu artikel bisa 1 juta rupiah
    kalau dalam negeri enam ratus ribu rupiah
    Terus promosi, terus berkunjung ke blog teman-teman. kumpul komunitas di twitter atau IG, biasanya disana saling memberikan informasi jika ada lomba menulis blog, hadiahnya kadang keren keren semisal laptop atau wisata ke luar negeri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wih, hadiah lomba blog ternyata nggak main-main ya Mas 😍

      Hapus

Silakan tinggalkan jejak berupa tanggapan, pertanyaan, atau sapaan 😊

© m o f u m e m o
Maira Gall