Paragraf-paragraf di bawah kubaca di buku Great Leaders Write karya Hong Sun-pyo:
“Membangun brand berarti menciptakan benteng pertahanan yang sulit ditembus. Dengan menulis, Anda bisa memperluas sekaligus memperdalam jarak yang menjaga bisnis tetap aman dari kompetitor. Inti dari branding sendiri adalah kemampuan menjelaskan perbedaan Anda dibanding pihak lain.
Baik individu, perusahaan, maupun produk, membangun brand tidak bisa hanya dengan menyebarkan awareness. Esensi branding ada pada kemampuan menunjukkan saya yang berbeda dari yang lain. Kata brand sendiri sebenarnya lahir dari makna ini.
Pada mulanya, brand berarti cap besi panas yang digunakan untuk menandai hewan ternak seperti sapi atau babi. Walau hewan-hewan tersebut bercampur di padang rumput, setiap pemilik bisa mengenali ternaknya berkat pola cap yang khas. Dengan demikian, brand pada dasarnya berfungsi untuk menekankan jati diri yang unik.”
Omong-omong, buku itu tidak kubeli, melainkan kudapat langsung dari blog si penulis. Beliau
membagikannya secara cuma-cuma, walau belum versi lengkap, supaya pembacanya
bisa tetap mendapat manfaat dari ilmu di dalamnya.
Great
Leaders Write
mengulas soal kekuatan menulis. Lebih tepatnya, menulis mampu menumbuhkan
kualitas kepemimpinan. Tapi lebih dari itu, menulis dengan baik juga bisa
menjadi jalan untuk membangun brand diri.
Waktu
pertama kali membacanya, aku langsung bertanya-tanya, “Hah? Beneran menulis
bisa membangun brand?” Aku sama sekali tak pernah memandangnya begitu. Sekarang
‘kan zamannya visual. YouTube, TikTok, dan lainnya jadi tumpuan para pemasar.
Anehnya,
profesiku sebetulnya adalah freelance writer. Aku menulis setiap hari,
mulai untuk UMKM sampai korporasi besar.
Meski
begitu, aku masih ragu, apa iya menulis saja benar-benar ampuh untuk personal
branding? Kalau untuk perusahaan, masuk akal. Tapi untuk individu? Aku tak
begitu yakin. Usai membaca beberapa halaman lagi, kututup buku itu dan beralih
ke Blogger.
Seperti
biasa, rutinitasku adalah mengecek Daftar Bacaan. Sejauh ini aku sudah
mengikuti sepuluh blog.
Temanya
sengaja kupilih berbeda-beda supaya bacaanku lebih bervariasi. Aku percaya,
semakin banyak ragam yang kubaca, semakin luas pula wawasanku.
Misalnya Djangkaru Bumi
dengan tulisannya tentang acara-acara budaya dan sosial sampai kuliner khas.
Ada pula Travel My Way
yang rajin membagikan kisah pribadi ketika menjelajahi dunia.
Dan tentu
saja ada Ensiklopedia Buol Rlipunoto, khusus membahas tentang Kabupaten Buol
di Sulawesi Tengah dari berbagai sisi.
Semua blogger
itu kelihatan begitu yakin dengan apa yang mereka bawakan. Masing-masing paham
betul dengan bidangnya. Begitu jelas brand-nya. Sedangkan aku? Rasanya seperti sapi tak bertuan.
Begitu
banyak niche yang sudah kucoba, sampai tak bisa kuingat lagi jumlahnya.
Di awal menulis lewat mofumemo, aku rutin menulis cerita motivasi setiap
hari.
Setelah itu
kutinggalkan dan beralih ke topik ekonomi serta perkembangan kecerdasan buatan
(AI). Lagi-lagi, tak bertahan lama. Malah tulisanku diberi label “thin content”
oleh Google.
Ujung-ujungnya
aku menulis sesuka hati, apa pun yang terlintas di kepala. Jika branding
berarti harus punya jati diri yang unik, maka aku jelas gagal. Setidaknya bila
patokannya buku itu. Sementara blogger lain tampak begitu mudah mencari
dan menjalani identitasnya.
Kurasa akar
persoalannya adalah aku sendiri tidak terlalu mengenal siapa diriku. Dari
kecil, aku memang mudah sekali terseret pengaruh sekitar.
Kalau
teman-teman bilang band Ungu paling keren, aku pun hanya mau dengar lagu
Ungu. Kalau mereka bilang sepatu kaca sedang hits, tak butuh waktu lama
sampai aku merengek minta dibelikan.
Kebiasaan
itu tidak pernah benar-benar hilang. Sekarang pun, aku masih sering kesulitan
mempertahankan pendapat pribadi. Kadang aku sudah yakin. Tapi begitu ada
pendapat lain yang terdengar lebih kuat, aku langsung goyah. Dan akhirnya, aku
lagi-lagi terbawa arus.
Mungkin
inilah alasannya aku belum juga menemukan arah dalam blogging.
Namun aku
harus jujur pada diri sendiri. Aku bukan seorang jack of all trades. Aku
bukan sosok yang serba bisa.
Meski
sekarang AI sedang ramai dibicarakan, aku tak punya latar ilmu di sana. Begitu
juga dengan ekonomi dan bidang-bidang lainnya.
Aku
hanyalah diriku. Seorang lulusan sarjana Bahasa Inggris dan penulis lepas
berkepala dua. Titik.
Andaikan
seseorang menyarankan, “Kenapa nggak ngeblog tentang bahasa Inggris aja? Itu ‘kan
jurusan kuliahmu.” Aku tahu aku akan menolak. Aku tetap merasa tidak sanggup.
Alasanku
sederhana saja: website belajar bahasa Inggris sudah bertebaran di
seluruh jagat internet. Pemiliknya pun jauh lebih punya credibility (kredibilitas)
dalam mengajar bahasa Inggris dibanding aku. Lantas apa bedanya blogku nanti?
Itu
membuatku lagi-lagi tersandung pada pertanyaan besar: apa sebenarnya brand-ku?
Dan semakin kupikirkan, semakin tidak nyaman rasanya. Pertanyaan itu justru membuatku murung.
***
Tak bisa kupungkiri, pikiran tentang menemukan dan
menceritakan kisahku sendiri melekat di kepalaku belakangan ini.
Kalau kupinjam dari definisi dalam buku Great Leaders
Write, maka yang sebenarnya kupikirkan adalah: bagaimana caranya
membangun brand-ku lewat blog? Bagaimana caranya supaya blogku punya
jati diri yang unik?
Siang dan malam aku bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan
itu. Dan, aneh tapi nyata, jawabannya muncul justru ketika aku sedang berada di
toilet.
Sepertinya masalahku bukan karena aku gampang goyah, atau
karena aku tak punya cerita yang pantas ditulis. Bisa jadi yang jadi kendala
adalah aku belum tahu cara yang benar untuk menuturkan ceritaku.
Aku akui, aku tak pernah menganggap hidupku cukup menarik
untuk dibahas. Makanya aku selalu memilih menulis tentang hal-hal lain.
Apa pun itu, yang terpenting selain tentang diriku.
Aku takut dinilai negatif, apalagi sampai dihakimi. Takut
orang mengira hidupku hambar, biasa-biasa saja.
Namun perlahan, ketakutan itu sedikit demi sedikit mulai
memudar. Perubahannya berawal ketika aku tak sengaja menemukan channel YouTube
Myeong Je-gal, atau yang lebih
akrab dipanggil Dandan.
Sudah beberapa minggu ini aku rutin menonton videonya. Aku
juga merasa visi-visinya sejalan denganku, kontennya pun fun, maka aku
pun tak ragu menekan tombol subscribe. Tidak berhenti di situ, aku juga
mengikuti blog dan newsletter-nya.
Sebagai informasi, sebagian besar konten Dandan membahas
bagaimana menjadikan menulis (khususnya menulis keseharian) sebagai kebiasaan.
Dandan juga sering membagikan pengalamannya bertahan sebagai self-employed
di tengah persaingan zaman sekarang.
Dalam salah
satu tulisan terbarunya di blog, Dandan membahas istilah “unique
narrative capital” (“modal narasi unik”), atau yang menurut Google artinya
kurang lebih adalah nilai yang terkandung dalam narasi brand yang
memberinya keunggulan kompetitif.
Ternyata,
Dandan pun mengakui dirinya sempat kesulitan kala harus bercerita tentang
hidupnya sendiri. Buku ketiganya yang sedang digarap bahkan berfokus pada tema
itu.
Namun pada
akhirnya, ia sampai pada sebuah kesimpulan: untuk bisa menyampaikan cerita
dengan baik, kita butuh authenticity (keaslian). Kita perlu membuat
orang merasa, “Orang ini tulus,” ketika membaca tulisan atau mendengar
kata-kata kita.
“Authenticity,
ya?” batinku. Kata itu terdengar asing. Jarang aku menjumpainya dalam
percakapan sehari-hari, kecuali ketika sedang menulis artikel untuk klien marketing.
Konsep itu
bagai beruang. Aku tahu wujudnya dan bisa membayangkannya. Tapi kalau tak pergi
ke Kebun Binatang Surabaya, aku takkan pernah melihatnya langsung.
Dari situ
aku mulai berpikir, apa sih arti authenticity itu? Terlebih ketika aku
menulis sebagai diriku yang sesungguhnya?
Kata
Dandan, pada awalnya beliau memaknai authenticity sebagai “menyampaikan
perasaan tanpa tedheng aling-aling”. Aku pun sependapat. Namun setelah
itu, beliau menceritakan sebuah pengalaman yang mengetuk hatiku.
“Dulu aku percaya bahwa menjadi authentic artinya mengungkapkan perasaan apa adanya. Aku ingin menunjukkan versi diriku tanpa topeng. Aku merasa perlu menanggalkan identitas sosial yang rapi kubangun dan menyingkap sosok di baliknya. Tapi balasan yang kudapat justru kritik.
Ketika aku memposting foto progress belajarku tentang grammar, ada DM berbunyi, ‘Sok rajin deh.’
Padahal aku benar-benar tulus menulisnya, jadi aku sangat bingung kenapa itu terjadi. Setelah menenangkan diri, akhirnya aku mengerti. Aku terlalu ingin dipuji. Dalam hati aku ingin orang berpikir, ‘Wah, Dandan rajin, ya.’ Itulah kenapa reaksi orang jadi negatif.
Manusia amat sensitif terhadap sikap pamer. Sama seperti dalam pertemanan, kita lebih nyaman dengan orang yang membagikan kebaikannya, bukan dengan mereka yang hanya sibuk memamerkan kebaikannya.”
Cerita itu terasa
relatable.
Misalnya,
ketika aku melihat teman kuliah memposting betapa suksesnya karier yang ia
bangun, sering muncul rasa minder.
Pikiran
seperti, “Kenapa aku masih jalan di tempat?” pun muncul. Karena itu aku bisa
memahami bagaimana postingan semacam itu berdampak negatif bagi orang lain.
Jika
disederhanakan, pesan Dandan adalah authenticity bukan berarti
memamerkan diri. Bukan juga sekadar melemparkan kejujuran mentah sambil
berkata, “Beginilah aku apa adanya.” Authenticity adalah soal empati,
ketika kita mampu menulis dengan memposisikan diri sebagai pembaca.
Tulisan
yang authentic, pada akhirnya, adalah tulisan yang mampu menggali cerita
yang paling dibutuhkan pembaca, lalu menyampaikannya dengan tulus dan penuh
kepedulian.
Contoh
konkretnya begini. Jika aku ingin menulis tentang kesulitan ekonomi menjelang
kepala tiga, aku tak cukup hanya menulis, “Gila, umur 28 tapi masih belum punya
tabungan.” Aku harus mencari makna yang lebih dalam.
Apa sisi
dari kesulitan ekonomi itu yang bisa menyentuh pembaca?
Bisa jadi
rasa malu.
Bisa jadi
rasa frustrasi.
Bisa juga
tekanan untuk punya tabungan yang memadai di usia tertentu.
Atau
mungkin kombinasi semuanya sekaligus.
Yang jelas,
tulisan itu jangan berubah jadi keluhan atau ajang mengundang belas kasihan. Aku
mesti menghadirkan cerita yang mana pembaca nantinya bisa melihat perjuanganku
sekaligus merasakan ketulusan di baliknya, plus menemukan titik kesamaan
yang membuat mereka merasa, “Oh, ternyata ada juga orang yang berpikiran/berperasaan
sama sepertiku.” Dengan begitu, mereka bisa merasa lebih dekat denganku.
Kesimpulannya,
brand yang kuat adalah brand yang authentic. Artinya,
itulah langkah yang harus kuambil dalam menulis untuk blog, yakni menampilkan
diriku apa adanya, namun dengan tulus.
Betul kalau
sekarang ini aku cuma penulis lepas yang masih berjuang mencari jati diri dan
kestabilan finansial. Tapi kisahku tak sesempit itu.
Enam tahun
terakhir memberiku banyak ilmu dari pekerjaan ini. Aku juga belajar kearifan tentang
cara mengatur keuangan sendiri, dengan minim bantuan orang tua. Barangkali
inilah yang oleh Dandan sebut sebagai “modal narasi unik”. Inilah “modal narasi
unik”-ku.
Dengan
modal itu, aku dapat berbagi apa-apa saja yang kupelajari, mulai dari cara
menjadi freelance writer, cara bertahan hidup dengan uang pas-pasan,
sampai pelajaran tentang bagaimana menjadi pribadi dewasa yang baik lewat
observasi pada orang di sekitar. Itulah potensi brand-ku.
Ketika
kujabarkan dengan gamblang, akhirnya kusadari bahwa hidupku tidak sesederhana
dan membosankan seperti yang selama ini kuyakini. Dan rasanya sungguh
melegakan.
Selama
bertahun-tahun aku mengira diriku biasa saja, tidak penting, dan tidak akan ada
yang mau mendengar ceritaku. Namun nyatanya tidak begitu.
Aku tidak
lagi merasa bagai sapi tak bertuan. Kini aku tahu di mana ‘peternakanku’, di
mana aku seharusnya berada. Selanjutnya, yang perlu kulakukan hanyalah terus
menunjukkan di mana aku seharusnya berada dengan menyampaikan kisah tentang
diriku dengan cara yang benar.
Untukku,
sekaligus untuk orang lain.
Karena itulah makna brand yang sesungguhnya. Credibility memang penting, tetapi apa artinya jika tidak dibarengi authenticity? [.]
Intinya sih, "Jadilah diri sendiri"
BalasHapusitu saja
Betul 😊 Pokoknya harus bisa jadi diri sendiri!
HapusMau aku follback, tp widget followernya blm ktm ya... 😊
HapusEh iya, terima kasih sudah diingatkan 🥹
HapusMas Djangkaru bumi emang konsisten menulis tentang budaya ya terutama budaya Betawi. Kalo aku blognya gado-gado, kadang nulis cerpen, kadang bahas android dll.
BalasHapusBetul sekali, Mas. Dan karena saya orang Jawa, jadinya senang baca konten-konten beliau. Banyak menambah wawasan tentang budaya yang berlainan 😆
HapusEh, walaupun gado-gado tetapi Mas Agus kan tetap konsisten. Kata saya sih keren banget 👏
Mas Agus mah gitu.. senengnya ama gado-gado dia... soalnya kalo diksh krupuk gak mau, harganya mahal katanya.
Hapusnah ini termasuk blogger lama, gaya penulisannya keren, runut
Hapuskalo gw apa yaa ? 🤣, di blog gw nulis cerita kejadian yang gw alami, kadang nulis apa yang saat itu terlintas di kepala, dari awal bikin blog memang gak pernah punya plan untuk nulis satu tema tertentu, kalo pun ada informasi yang ingin gw bagikan, gw akan nulis dengan apa yang gw bisa :)
BalasHapusKalau boleh saya menilai, brand Mas Khanif bisa dibilang "personal storyteller" gitu ya. Saya sendiri sih suka baca-baca blog seperti punya Mas Khanif, karena rasanya seperti denger cerita dari temen gitu 😊
HapusCiyeee mas Khanif punya fans blognya tuh.. kalo blogku serem mbak, jangan dibaca ya... nanti gak bs tidur 😁
Hapuskalau dia cerpen percintaan yang gagal :D
HapusUps 🤭
HapusSaya sudah cukup lama nge blog, ya bisa dikatakan 15 tahunan
BalasHapusmencari jati diri, butuh waktu yang panjang
saya menulis ya asal menulis, niatnya ingin belajar cara menyampaikan pendapat lewatan tulisan. Memang tidaklah mudah, lebih gampang berbicara daripada menulis.
Tidak menyangka, menulis bisa menghasilkan duit, dan saat itu sebelum ada tiktok, lumayan gede juga lo.
Terus belajar dan terus belajar
Eh saya juga punya channel youtube ,awalnya juga bingung mau niche apa. Kini lebih ke ondel-ondel Betawi.
Ya semua berawal dari gado-gado, lambat laun akan menemukan niche atau brand dengan seiring waktu.
Betul ya, Mas. Orang lain 'kan sering menilai kesuksesan si A dan B dari apa yang ditampakkan sekarang, ngiranya memang sedari awal sudah sukses, padahal nggak ada yang namanya baru mencoba langsung sukses 😅
HapusDulu jika dapat job dari luar negeri, satu artikel bisa 1 juta rupiah
BalasHapuskalau dalam negeri enam ratus ribu rupiah
Terus promosi, terus berkunjung ke blog teman-teman. kumpul komunitas di twitter atau IG, biasanya disana saling memberikan informasi jika ada lomba menulis blog, hadiahnya kadang keren keren semisal laptop atau wisata ke luar negeri.
Wih, hadiah lomba blog ternyata nggak main-main ya Mas 😍
Hapus