31 Desember 2025

Rahasia Itu Bernama Rumah

Rahasia adalah sesuatu yang jika diketahui orang lain maka dampaknya bisa merugikan sang pemilik. Memang sih, hal-hal sepele pun bisa menjadi rahasia—seperti insiden tak sengaja mencemplungkan sikat gigi keluarga ke toilet, membersihkannya diam-diam, lalu berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Namun bagi saya, rahasia yang sesungguhnya adalah yang jika diungkapkan membawa kerugian yang teramat besar—melampaui perang dingin antar saudara selama seminggu. Bermacam-macam bentuk kerugian akibat rahasia yang terbongkar itu, bisa berupa rasa malu yang mendalam, rusaknya reputasi, masalah keuangan, atau bahkan masalah hukum.

Berdasarkan pengertian itu, jika Anda bertanya apa rahasia saya, jawabannya adalah “rumah”. Dan jika Anda bertanya mengapa rahasia itu bernama rumah, alasannya adalah yang pertama tadi, “Karena rasa malu”.

Sejauh ingatan saya, kedatangan tamu ke rumah selalu memicu dorongan jelek dalam diri saya untuk lekas-lekas mengusir tamu-tamu itu. Sekalipun jika tamunya adalah Tante saya sendiri—yang hampir pasti mampir sebulan sekali untuk menengok Mama, kakak tertuanya—dorongan itu tetap muncul. Namun dorongan itu semakin menggebu-gebu jika tamunya adalah tetangga dan teman sekolah saya. Untuk dua kategori terakhir ini, saya terlebih sampai punya mantra sendiri, “Ndang muliho, ndang muliho... (Cepatlah pulang, cepatlah pulang...),” yang di sepanjang kunjungan tak terencana mereka saya rapal dengan sungguh-sungguh dalam hati.

Sebenarnya saya tidak bakal menyembunyikan rumah saya dari siapa pun kalau saja kondisinya memang pantas untuk menyambut dan menjamu tamu. Sayangnya, menurut standar saya sendiri—yang, percayalah, sejatinya amat rendah—rumah ini jauh dari kata pantas untuk menyambut dan menjamu tamu. Sebagaimana mempertontonkan perilaku yang tak pantas membuat saya merasa malu pada diri sendiri, memperlihatkan rumah yang tak pantas itu pun memunculkan rasa malu yang sama dahsyatnya.

***

Tak ada satu pun orang yang pernah secara langsung berkomentar tentang kondisi rumah saya. Maksud saya, saya paham betul rasanya terang-terangan dipermalukan, seperti ketika seorang teman laki-laki di SMP dulu pernah mengejek deretan gigi tonggos saya di hadapan anak-anak lain. Berkatnya, sejak itu saya belajar menahan diri untuk tidak tertawa lepas, kecuali di lingkungan keluarga. Tetapi soal rumah, tak ada kejadian traumatis semacam itu yang kemudian membuat saya terobsesi untuk menutup-nutupinya.

Karena itu, saya pun merenung panjang dan dalam, mencari-cari penjelasan yang barangkali berkaitan. Hingga akhirnya saya tiba pada satu kesimpulan, bahwa obsesi ini agaknya berakar pada pengalaman hidup berdesakan dalam satu kamar kos sempit selama belasan tahun. Meski sudah berkali-kali pindah rumah—tepatnya delapan kali dalam 28 tahun terakhir—tujuannya tak pernah berubah, yakni dari satu kamar kos sempit ke kamar kos sempit lainnya.

Ketika masih kecil, saya yakin suatu hari nasib keluarga kami akan membaik. Dalam bayangan saya, kami akhirnya bisa tinggal di rumah di mana Mama dan Papa tidur di kamar mereka sendiri, begitu pula saya. Kenyataannya, harapan itu tidak juga terwujud, bahkan setelah adik perempuan saya lahir sewaktu saya duduk di TK A.

Sungguh terlalu dini untuk merasa putus asa. Tetapi menyaksikan kondisi ekonomi keluarga yang kian memburuk, saya dipaksa mengubur mimpi untuk belajar, bermain, dan beristirahat di kamar saya sendiri. Sebagai gantinya, saya harus menanam keyakinan bahwa hidup bersama keluarga sedianya berarti harus belajar sambil mendengar suara televisi dan ocehan bersahut-sahutan, harus tidur di samping adik bayi yang sering merengek di malam hari karena popok basah, dan—yang paling menyiksa—harus menghirup asap rokok Papa yang berkepul nonstop.

Itulah kondisi tak pantas rumah saya yang menjadi akar dari keengganan saya menerima kedatangan orang lain. Saya malu tidak punya ruangan terpisah khusus untuk melayani tamu. Tapi lebih daripada itu, rasa malu itu muncul lantaran saya harus mempertontonkan kepada orang lain seperti apa kehidupan yang keluarga kami jalani di rumah—di rumah yang sarat akan kungkungan dan kekacauan itu.

***

Karena keadaan yang tidak pantas itu, saya tumbuh besar tanpa satu pun kenangan mengajak teman bermain atau mengerjakan tugas kelompok di rumah saya. Apalagi merayakan ulang tahun bersama mereka—itu sih seperti pungguk merindukan bulan! Sebaliknya, ingatan saya penuh dengan momen bermain, belajar kelompok, serta merayakan ulang tahun mereka di rumah masing-masing.

Dan karena itu pula, saya jadi punya semacam hobi untuk menginap di rumah teman.

Pengalaman menginap di rumah teman membuka mata saya akan satu fakta pedih bahwa tidak semua keluarga di luar sana hidup seperti kami, berdesakan dalam rumah sempit. (Atau, jika dilihat dari sudut pandang saya sekarang sebagai orang dewasa, tidak semua orang membesarkan anak-anaknya yang bongsor-bongsor itu di dalam bangunan seluas 4×6 meter persegi…)

Meski begitu, saya tetap suka menginap. Makin lama durasinya makin menyenangkan. Karena dengan begitu saya bisa mengkhayalkan bahwa kamar Nabilla yang dicat merah muda dengan set meja belajar yang tertata rapi dan spring bed-nya yang empuk itu adalah milik saya walau untuk semalam saja! Dan untuk sementara waktu itu pula saya bisa mengalami hal-hal luar biasa yang bagi sebagian orang mungkin adalah hal-hal biasa. Seperti menyantap makanan di ruang makan, bukan di atas kasur; bermain di teras, bukan di atas kasur; dan ikut memasak di ruang yang memang dikhususkan untuk memasak, bukan di ruang yang berfungsi sebagai kamar tidur merangkap dapur!

Namun di balik rasa iri yang cukup besar terhadap rumah Nabilla—teman di sekolah dasar—sebenarnya ada dua rumah lain yang justru lebih membuat saya iri. Bisa dibilang keduanya adalah rumah yang layak dijadikan ‘inspirasi’ jika kelak saya berkesempatan punya hunian sendiri.

Rumah pertama milik Anggi, teman saya di kelas 12. Sejak awal, saya sudah tahu dia berasal dari keluarga berada, tepatnya sejak dia datang ke sekolah membawa HP iPhone teranyar—sementara kala itu hampir semua anak masih setia dengan HP Android Samsung “entry level” serta Andromax. Dari situ, saya berasumsi bahwa dia pasti tinggal di rumah gedongan atau semacamnya.

Dan kesempatan melihat rumah gedongan itu dengan mata kepala saya sendiri akhirnya datang ketika saya mesti mengikuti ujian praktik renang di pagi buta. Masalahnya, tempat ujiannya sendiri berjarak sekitar 20 menit dari pusat kota Sidoarjo, dan hampir mustahil menemukan angkot daerah yang melintasi kawasan tersebut sebelum jam 6. Untungnya, Anggi dengan baik hati menawarkan saya dan dua kawan lainnya untuk menginap di rumahnya, lalu keesokan paginya ibunya akan mengantar kami ke Suncity Waterpark tempat ujian berlangsung. Waktu itu, bukannya lega karena persoalan transportasi teratasi, saya justru lebih diliputi rasa girang dan antusias karena bisa melihat rumah gadis terkaya di kelas—pun bermalam di sana, cihui!

Asumsi saya runtuh seketika begitu tiba di rumah Anggi. Tidak, Anggi tidak tinggal di gubuk atau semacamnya. Hanya saja selama ini saya dengan polosnya percaya bahwa semua orang kaya pasti menghuni rumah bertingkat—kepercayaan yang terbentuk gara-gara tontonan sinetron SCTV dan Indosiar. Ternyata, Anggi, kakaknya, dan sang Mama menempati sebuah rumah tapak dengan lahan yang luar biasa luas. Masya Allah, rumah itu bahkan punya halaman depan dan belakang—dua hal yang absen dari rumah sebagus milik Nabilla sekalipun!

Begitu saya melangkah masuk melewati pintu depan—yang masih dilapisi satu lagi pintu berteralis—rumah itu terasa seolah tak berujung, dengan satu ruangan menyambung ke ruangan berikutnya, dan ke ruangan berikutnya lagi, dan ke yang berikutnya lagi. Sejak hari itu, sebuah kepercayaan baru tumbuh dalam diri saya, “Jadi wong sugih (orang kaya) itu mesti punya rumah tapak yang besar, bukan rumah tingkat-tingkat…”

Sudah pasti, setiap anggota keluarga di rumah itu punya kamarnya masing-masing, lengkap dengan kamar mandi pribadi di dalamnya. Sementara untuk tamu seperti kami, ada satu kamar mandi khusus yang letaknya persis di samping ruang tamu. Ketika kami diarahkan ke ruang makan untuk makan malam lebih awal, kami langsung disambut deretan hidangan wah. Mama Anggi bilang, semua hidangan itu sudah disiapkannya sejak siang khusus untuk menyambut kami.

Mata saya seketika berbinar. Hidangannya memang berlimpah—ada sayur sop (dengan kacang merah!), ayam goreng, telur dadar, sambal, sampai kerupuk udang—tetapi yang nyaris membikin saya lupa diri adalah keberadaan meja putar marmer di pojok ruangan.

IKI SAKJANE OMAH OPO RESTORAN CINO?! (INI RUMAH ATAU RESTORAN CHINA, SIH?!)” batin saya sambil melirik Anggi dengan ekspresi tak percaya. (Andai dia tahu isi kepala saya, mungkin dia bakal menganggap saya katrok!)

Begitulah, satu kepercayaan lainnya tumbuh di benak saya dari kunjungan itu, “Jadi wong sugih (orang kaya) itu mesti punya meja marmer putar juga di ruang makan…”

Tapi tunggu dulu, kejutannya masih berlanjut. Ternyata di awal saya keliru besar mengira rumah Anggi adalah rumah tapak satu lantai. Dari tampak depan kesannya memang demikian. Baru di malam hari saya menyadari adanya lantai dua. Lantai atas ini tidak sebesar lantai bawah yang menampung hampir semua ruangan. Lantai atas menampung satu musholla dan satu ruang serbaguna saja. (Ironisnya, ruang serbaguna itu tetap lebih luas daripada kos satu kamar yang keluarga saya tinggali, padahal keduanya juga sama-sama berfungsi sebagai ‘ruang serbaguna’, hehehehe…)

Di ruang serbaguna inilah saya dan dua kawan lain menghabiskan malam. Karena bentuk atapnya yang miring, saya sempat berkhayal menjadi tokoh utama film Amerika yang tidur di kamar lotengnya—khayalan pertama sekaligus terakhir yang pernah saya miliki terkait kamar loteng.

Adapun rumah kedua yang menginspirasi saya betul-betul bertolak belakang dengan rumah Anggi yang megah itu. Rumah ini lebih kecil dari segi ukuran bangunan dan lahan, pun lebih sederhana jika dibandingkan dari segi eksterior, interior, jumlah kamar, maupun perabotannya. Meski demikian, ada keistimewaan tersendiri yang membuatnya membekas di benak dan karenanya ingin saya tiru suatu hari nanti. Rumah itu milik sahabat terdekat saya semasa kuliah, Rani, yang berada di wilayah pedesaan Mojokerto—lebih tepatnya di Kecamatan Dlanggu.

Keistimewaan rumah Rani, bagi saya, terletak pada lokasinya. Rumah itu berdiri di sebuah desa yang dikelilingi ladang tebu dan persawahan sejauh mata memandang. Di antara sawah-sawah tersebut mengalir saluran irigasi yang juga melewati akses masuk dan keluar desa, dengan air yang luar biasa jernih—yang paling jernih dari semua sungai yang pernah saya temui, meski jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Gemericiknya mengalun lembut, sebuah bunyi yang paling tepat disebut “suara khas pedesaan”. Berada di lingkungan yang terasa seperti latar film My Neighbor Totoro-nya Studio Ghibli, bagaimana mungkin rumah itu tidak meninggalkan kesan mendalam di hati?!

Hal istimewa lainnya dari rumah Rani adalah kolam di halaman depan dengan ikan-ikan berwarna-warni—yang saya curigai keberadaannya lebih ditujukan untuk hiburan si kucing peliharaan daripada manusia. Sementara di bagian belakang, alih-alih tembok bata, yang terbentang justru sebuah lahan luas dengan deretan pohon pisang dan mangga. Ayam-ayam milik tetangga kanan dan kiri bebas melintas dan memberaki lahan itu—yang saya bayangkan justru disambut dengan penuh suka cita oleh pepohonan tersebut. Pemandangan itulah yang sering saya tatap sembari menunggu giliran mandi ketika menginap—maklum, keluarga Rani cukup ramai, terdiri dari ibu, ayah, dua anak, dan seorang kakek. Dan entah mengapa, saya betul-betul menikmati kegiatan melamun tanpa memikirkan apa pun itu.

Terinspirasi dari dua rumah tadi, maka beginilah gambaran rumah impian saya di masa depan: sebuah rumah tapak di atas tanah yang lapang, dengan kamar terpisah untuk setiap anggota keluarga dan masing-masing sudah lengkap dengan kamar mandi pribadi. Di dalamnya juga terdapat ruang tamu, ruang makan—dengan meja marmer putar yang tak boleh absen—pantry yang super lengkap untuk adik saya, serta kamar mandi tamu. Dan yang tak kalah penting, rumah ini harus dikelilingi taman hijau juga—sehingga Papa bisa merokok sepuasnya di luar. Nah, soal kolam ikan saya menyerah, mengingat tidak ada kucing ataupun manusia di rumah kami yang nantinya akan terhibur dengan keberadaannya…

***

Baru setelah sampai di bagian ini, saya ingat ada satu sosok lain yang tidak akan pernah saya biarkan menginjakkan kaki di rumah saya, setidaknya sampai rumah impian itu terwujud. Sosok itu adalah…

… calon pacar saya.

Dan terkait hal ini, ada sebuah insiden yang cukup traumatis sehingga menjadi landasan dari pemberlakuan aturan tersebut.

Di kelas 12, saya sempat berpacaran dengan “A” (halo “A”, kalau kamu kebetulan membaca ini, ya, saya sedang ngrasani (menggunjing) kamu). Awalnya, yang saya sebut ‘pacaran’ cuma berarti mengobrol sebelum dan sesudah kelas, plus makan bersama di jam istirahat. Lama-kelamaan, ‘pacaran’ itu berarti menghabiskan waktu bersama di luar sekolah juga—jalan ke mal atau nonton film, misalnya. Dan seiring berjalannya waktu, keinginan untuk saling mengenal lebih dalam pun muncul—atau, dalam hal ini, keinginan A untuk mengenal saya lebih dalam.

Karenanya, suatu hari dia bertanya dengan sangat hati-hati, “Mau pulang bareng?”

Sekolah saya memang tidak jauh dari rumah, jadi Papa selalu mengantar dan menjemput saya setiap hari. A mengetahuinya, dan saya rasa itulah sebabnya dia bertanya dengan sangat hati-hati, barangkali berharap bisa mendapat kesempatan untuk mengantar ceweknya pulang.

Gadis-gadis lain mungkin akan langsung mengiyakan ajakan semacam itu. Tetapi saya tidak bisa, meski sebenarnya mau. Anda sudah tahu alasannya, bukan?

Alhasil, saya menolak dengan setengah bercanda, berkilah bahwa Papa bakal mengusir saya dan tidak mengakui saya sebagai anaknya kalau saya kedapatan membawa cowok ke rumah. Dalih ini sempat ampuh beberapa kali, tetapi tidak lagi ketika A makin bersikeras. Pada titik itu, saya pun harus menetapkan batas yang tegas—sebuah ‘ultimatum’—bahwa dalam keadaan apa pun, kami tidak akan pernah bisa pulang bareng. Anehnya, cara itu berhasil. A berhenti mendesak saya…

… atau setidaknya, begitulah yang saya kira.

Jadi begini, A tidak pernah langsung pulang seusai sekolah. Dia selalu nongkrong dulu bersama gengnya. Artinya, sayalah yang biasanya lebih dulu mengabari bahwa saya sudah tiba di rumah. Tetapi pada suatu hari, situasinya terbalik.

Seusai mencopot sepatu dan kaus kaki, saya mengecek HP dan melihat ada pesan WhatsApp yang masuk sekitar beberapa menit sebelumnya. Kata A, “Udah sampe ya?” Saat itu saya tak berpikiran aneh-aneh, malah sempat merasa geli sendiri. Namun pesan selanjutnya seketika menghapus semua rasa berbunga-bunga yang baru saja saya rasakan, berganti dengan rasa panik. Perut saya terasa bergejolak, seakan-akan lantai bergoyang dan ruangan berputar tanpa henti. A menulis, “Ya tau dong, ‘kan tadi aku di samping kamu terus. Masak kamu gak liat sih?” A lalu menceritakan bagaimana dirinya diam-diam membuntuti saya hingga melihat saya masuk ke gang dekat rumah.

Sungguh, itu adalah salah satu momen paling mengerikan yang pernah saya alami—pengalaman yang bahkan tak bisa disaingi oleh film horor mana pun!

Begitu kengerian itu mereda, saya langsung meledak. Saya tak lagi mengingat persis apa saja yang saya ucapkan, tetapi saya yakin saya sudah bersikap sangat kasar kepadanya dengan mengatakan betapa saya membenci tindakannya itu dan menegaskan bahwa kejadian tadi tidak boleh terulang.

Yah, saya paham, di satu sisi, mengapa A sampai berbuat demikian—adalah dorongan yang manusiawi untuk melanggar larangan. Namun kekecewaan saya jauh lebih besar sebab dia mengabaikan batasan yang sudah saya tetapkan.

Bisa jadi, jika saya mengungkapkan kebenarannya sejak awal, hubungan kami akan bertahan lebih lama—nyatanya kami bahkan tidak berpacaran sampai dua bulan. Tetapi bagaimana caranya saya menjelaskan alasan sebenarnya? Saya belum siap menanggung kemungkinan penilaiannya terhadap saya, terlebih terhadap keluarga saya. Walau saya juga sadar bahwa tidak ada kepastian dia akan langsung berpikiran buruk—bagaimanapun dia pacar saya, bukankah sudah sepatutnya dia menyukai saya apa adanya?—namun ketakutan akan terbongkarnya rahasia itu tetap mendominasi. Apalagi jika yang mengetahuinya adalah laki-laki yang saya sukai, orang yang di hadapannya saya hanya ingin tampil sebaik mungkin…

***

Namun, di tengah semua upaya menyembunyikan rumah ini, ada satu kejadian ketika saya tidak punya pilihan selain menunjukkannya. Dan ironisnya, bukan kepada keluarga, tetangga, teman, atau pacar, melainkan kepada seseorang yang sama sekali tidak saya kenal.

Kejadian itu bermula ketika saya hendak mendaftar kuliah, atau lebih spesifik lagi, ketika mengurus Bidikmisi—yang saya dengar-dengar sekarang disebut Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Untuk membuktikan bahwa calon penerima benar-benar tidak mampu menempuh pendidikan tinggi tanpa kemurahan hati negara, salah satu persyaratannya adalah menunjukkan kondisi tempat tinggal yang berada di bawah standar rata-rata. Maka, saya pun harus mendokumentasikan rumah kami.

Pada masa itu, kami tinggal di kos satu kamar berukuran 4×6 meter. Papa membangun sekat triplek di tengah ruangan guna membaginya menjadi dua area: bagian depan difungsikan sebagai kamar Papa sekaligus ‘ruang tamu’, sementara bagian belakang ditempati kami bertiga—saya, Mama, dan adik saya—berdekatan dengan pantry kecil yang hanya cukup menampung satu rak piring dan satu kompor satu tungku. Di samping pantry tersebut terdapat kamar mandi yang tak kalah sempit, tempat kami mandi sekaligus mencuci pakaian dan peralatan makan—sebuah kombinasi yang, sejujurnya, amat menjijikkan.

Dengan penuh resistansi, saya tetap memotret rumah itu karena memang tidak ada jalan lain. Saya terus-menerus berusaha menenangkan diri dengan berpikir bahwa toh gambar itu hanya akan dilihat secara digital, lalu dilupakan setelah urusan administrasi rampung. Pikiran itulah yang menguatkan saya.

Tetapi satu hal luput dari bayangan saya: verifikasi melalui wawancara tatap muka.

Menunggu giliran sambil memangku foto-foto rumah saya yang sudah dicetak itu rupanya tak seburuk yang saya bayangkan. Di luar dugaan, saya merasa cukup baik-baik saja. Dalam pikiran saya, semua orang yang hadir di wawancara ini juga sedang berada dalam posisi yang sama—hendak membongkar sisi kehidupan yang selama ini dirahasiakan. Adakah yang melakukannya dengan senang hati?

Namun ketenangan itu menguap begitu saja tatkala saya duduk di hadapan petugas. Di balik kacamatanya, pria itu meneliti foto-foto yang saya bawa satu per satu dalam diam. Beberapa menit kemudian, dia mengangkat kepala dan melontarkan pertanyaan pertamanya—pertanyaan yang semestinya tak perlu diajukan lantaran jawabannya sudah terlampau jelas, “Betul empat orang tinggal di sini?”

Rupanya begitulah imej kami di mata mereka yang tinggal di ‘rumah sungguhan’, seperti binatang yang diternakkan dalam kerangkeng…

Pikiran itulah yang terus berulang di benak saya ketika saya akhirnya, dengan terbata-bata, menjawab iya.

Benak saya makin kosong begitu pertanyaan kedua meluncur, “Coba jelasin, seperti apa aktivitas sehari-hari di rumah,” katanya, sambil menyodorkan kembali foto-foto itu agar saya bisa menunjukinya satu per satu.

“Ayah saya tidur di ruangan ini, Pak, menghadap TV. Saya tidur di bagian sini, berdempetan dengan adik, sementara adik saya sendiri tidur persis di samping kulkas. Jadi setiap kali ibu saya mau buka kulkas, kepalanya harus dipalingkan ke arah lain—kalau tidak mau wajahnya tertampar pintu kulkas. Ibu tidur di sini, dekat lemari, tanpa ranjang, hanya kasur yang dilipat-lipat, karena kalau ada ranjang, sudah tidak ada lagi ruang untuk berjalan. Sementara itu, dindingnya tipis sekali. Kami bisa tahu apa yang sedang ditonton tetangga, malahan terkadang ikut menyimak pula jika acaranya seru. Tapi jika yang terdengar justru pertengkaran suami-istri, itu lain cerita. Lalu soal tikus, ah… rasanya tidak perlu saya jelaskan panjang-panjang.”

Saya ungkapkan semua yang terlintas di kepala, apa adanya, di mana setiap lembar foto yang berganti membikin saya makin goyah, dan makin telanjang pula saya rasakan. Kenapa, kenapa saya harus melalui penghinaan ini? Senangkah orang ini menyudutkan saya begini? (Tidak juga, memang begitulah prosedurnya, hahahaha…)

Syukurlah, ‘penghinaan’ itu berujung pada akhir yang manis: saya lolos masuk perguruan tinggi. Lantas, apakah semua itu sepadan? Entahlah. Yang jelas, saya tak mau mengulanginya untuk kedua kalinya. (Kecuali jika dengan menjual cerita sedih ini saya bisa menempuh pendidikan gratis di universitas mana pun seumur hidup, kalau begitu barangkali saya masih sanggup ‘menelanjangi diri’ beberapa kali lagi.)

***

Sekitar lima atau enam tahun lalu, sang pemilik kos memutuskan untuk menutup bangunan kumuh yang telah mengantarkan saya ke bangku perguruan tinggi itu. Usia beliau sudah sangat lanjut, sehingga dia memutuskan sudah tiba masanya untuk tinggal bersama anak-anaknya di kampung. Dan bersamaan dengan itulah cerita saya sebagai penghuni kos satu kamar sempit pun berakhir.

Setelah pencarian yang panjang—yang tentu saja lantaran berbenturan dengan keterbatasan biaya—Mama akhirnya berhasil menemukan tempat yang masuk anggaran. Yang mengejutkan, tempat baru itu justru jauh lebih luas! Bukan lagi kos satu kamar, melainkan kontrakan dengan beberapa kamar. Berkat itu, Mama tidak perlu lagi memasak di kamar, begitu pula jika Papa hendak merokok. Ada dapur, dua kamar tidur, dan kerennya lagi dua kamar mandi—sehingga tak ada lagi drama berebut giliran buang air atau bersiap-siap di pagi hari. Tambah lagi, kontrakan ini punya teras dan pagar. Dalam hati saya berseru, “Yo iki jenenge omah! (Ini baru rumah!”)

Tetapi apakah kepindahan tersebut mengubah saya? Apakah kepindahan tersebut menghentikan saya supaya tak lagi menyembunyikan tempat tinggal bagai buronan, atau bahkan—sekali saja—berani mengundang teman? Apakah kepindahan tersebut lantas menjadikan saya sosok tuan rumah yang senang menjamu tamu?

Jawabannya jelas tidak.

Sudah berapa lama menurut Anda saya hidup dengan memikul rahasia ini? Sejak piyik! Rahasia ini sudah seperti tato permanen yang mengakar di sekujur tubuh saya, mustahil dihapus tanpa jejak.

Maka, jika setelah membaca kisah ini Anda masih nekat bertanya, “Mba, boleh main ke rumah?”, tunggulah 10 atau 20 tahun lagi. Mudah-mudahan saat itu saya sudah bisa memberi jawaban yang pantas [.]

 

(Gambar diambil dari Wikimedia Commons.) 

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Silakan tinggalkan jejak berupa tanggapan, pertanyaan, atau sapaan 😊

© m o f u m e m o
Maira Gall