
K, kudengar kamu sudah lama ingin punya blog. Entah dari
mana ide itu datang—barangkali, sepertiku enam bulan silam, kamu tak sengaja
menemukan sebuah blog dengan tulisan-tulisan keren tatkala doomscrolling
di waktu senggang, dan mendapati bagaimana blog itu disambut hangat oleh para
pengguna internet, kamu pun terpikir, “Aku juga mau bikin blog, ah!”—tetapi
harus kukatakan bahwa itu kabar baik, K! Langkah yang patut diapresiasi!
Tetapi ketika selanjutnya kutanyakan bagaimana perkembangan
minat barumu itu, antusiasmemu tidak terdengar setinggi itu. Kenapa?
…
…
…
Oh, begitu. Aku paham sekarang. Aku benar-benar paham, K.
Juni lalu, saat secara tak sengaja kubaca blog Bapak Mula Harahap dan mendadak
ingin menulis seperti beliau, aku pun tidak langsung bergerak. Baru sekitar Oktober
aku baru memulai. Ya, empat bulan berlalu sebelum akhirnya tulisan pertamaku
terbit. Lama sekali, bukan?
Sama sepertimu, aku pun dihantui segudang kekhawatiran—yang
jika dipikir-pikir lagi, sebetulnya tidak penting-penting amat. Yang paling
utama, bagaimana jika tak seorang pun membaca blogku? Lalu pikiranku berbelok
ke arah sebaliknya, kalau ada yang membaca tetapi tidak berkata apa-apa? Atau,
lebih buruk lagi, bagaimana jika yang dikatakan justru kejam? Dalam situasi apa
pun itu, sanggupkah aku menghadapi semua itu?
Waduh, memikirkannya saja sudah cukup menguras semangatku
yang tadinya menggebu, sampai akhirnya aku mundur dan memilih ndelik (bersembunyi)
di bawah selimut…
Sekarang begini, K. Walaupun perjalananku sebagai blogger
belum genap setahun—dan jelas belum selevel Pak Mula—masih pantaslah
rasanya kusebut diriku sebagai seniormu yang sudah sedikit lebih dulu terjun di
bidang ini dibanding kamu. Karena itu, rasanya pantaslah pula jika aku berbagi
pandangan soal kekhawatiranmu. Barangkali lewat obrolan ini, kamu bisa
menemukan jawaban terbaik. Siapa tahu?
K, izinkan aku bercerita sedikit.
Beberapa hari yang lalu, sewaktu kudengarkan radio Suara
Muslim, seorang ustaz melontarkan pesan yang benar-benar menamparku. Intinya
kurang lebih begini:
“Saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang merasa belum ‘pantas’ salat di masjid, katanya masjid hanya milik mereka yang sudah ‘pantas’. Orang-orang ini menunggu menjadi ‘pantas’ terlebih dahulu, baru katanya akan berangkat ke masjid. Maaf saja, itu omong kosong. Justru masjid ada untuk ‘memantaskan’ kita. Maka datanglah, salatlah di masjid, tinggalkan pikiran-pikiran yang tidak berguna.”
Maafkan aku, K, kalau pembicaraan ini tiba-tiba melompat ke
ranah yang lebih dalam. Namun relasinya dengan kebimbanganmu sekarang cukup
jelas, bukan? Dengan logika yang sama, K, maka kamu—dan aku di masa lalu—sebenarnya
sedang mengkhawatirkan omong kosong belaka!
Baiklah, supaya tidak terdengar terlalu ekstrem, coba
pikirkan yang satu ini. Aneh, bukan, jika seseorang menolak pergi ke sekolah
lantaran merasa dirinya belum pintar, padahal justru fungsi sekolah adalah
untuk mencerdaskan insan? Atau enggan membuka rekening bank dengan dalih bahwa
uangnya belum seberapa?
Betul kalau blogging tidak serta-merta membuatmu
menjadi pribadi yang lebih pantas, lebih pintar, atau lebih aman hidupnya. Namun
dalam caranya sendiri, prinsipnya mirip. Begitu tulisanmu dilepas ke publik,
kamu sebetulnya sedang memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk menjadi lebih
pantas (dengan menajamkan kualitas tulisan), lebih pintar (dengan memperluas
pengetahuan mengenai teknik menulis), dan lebih aman pikirannya (dengan memperkuat
logika berpikir).
Nah, sudah kubilang, perkataan ustaz itu dan dilemamu saling
terkait, bukan?
Lanjut ke kekhawatiran berikutnya, soal tak ada satu pun
orang yang akan mampir dan menanggapi tulisanmu. K, bukankah jalan keluarnya
sudah jelas? Aku tahu kamu tahu apa itu blogwalking—berkunjung dan
meninggalkan jejak di blog lain supaya pemiliknya tertarik berkunjung balik.
(Atau, jika kamu bernyali lebih besar daripada aku, promosikan saja tulisanmu
di WhatsApp, Instagram, atau Facebook.) Serius, K, cara menarik perhatian orang
itu tidak ada habisnya!
Hanya saja, mendapatkan pembaca dan komentator pertama
memang membutuhkan waktu. Kamu mesti sabar. Jangan sekali-kali berpikir bahwa
usaha promosi dan blogwalking itu percuma, karena pikiran itu keliru.
Pasang notifikasi komentar agar masuk ke email, tetapi jangan mengeceknya
secara manual setiap hari, apalagi tiap jam. Anggap saja ini seperti investasi
saham yang ditinggal tumbuh. Itulah cara terbaik untuk menurunkan ekspektasi,
supaya motivasimu tak lekas habis di tengah jalan.
Mengenai komentar pedas, jangan biarkan itu terlalu
menggerogoti pikiranmu, K. Abaikan saja, kecuali jika memang ada manfaatnya
untukmu. Lantas, bagaimana caranya membedakan ejekan dan kritik yang membangun?
Stephen King
pernah berkata kira-kira begini:
“Jika banyak orang bilang ada yang salah dengan tulisanmu, berarti memang ada yang salah dengan tulisanmu. Jika hanya beberapa orang menyoroti satu poin tertentu, sebaiknya pertimbangkan untuk menggantinya. Namun jika hampir semua orang mengkritik hal yang berbeda-beda, kamu boleh mengabaikan semuanya.”
Tambahan dariku sendiri: bila kamu betul-betul yakin dengan
apa yang kamu tulis, biarkan saja komentar bernada miring itu lewat. Ini
blogmu, K. Kecuali orang-orang itu menunjukkan bahwa kamu luar biasa
keliru—misalnya tanpa sadar sudah bersikap rasis, seksis, atau keliru dalam
bentuk lain—tetaplah pada pendirianmu. Blogmu, aturanmu.
Daripada membuang tenaga untuk mengkhawatirkan ini-itu yang entah
akan terjadi atau tidak, segera ambil laptop—atau HP-mu—lalu mulailah menulis,
K. Singkirkan semua pikiran yang tidak ada hubungannya dengan tulisanmu yang
pertama. Beranilah menulis apa adanya. Dan yang terpenting, nikmati prosesnya.
Bukankah itu jauh lebih penting daripada sekadar mencari pengakuan dari
orang-orang asing di internet?
Kalau ocehanku ini belum sepenuhnya meredakan kekhawatiranmu
sekarang, tidak apa-apa. Sebagaimana kesulitan sebuah soal matematika baru
terasa ketika kita mulai membacanya, tingkat kesulitan blogging pun baru
akan tampak setelah kamu benar-benar terjun ke dalamnya. Dan sebagaimana proses
mencari jawaban soal yang sulit itu, kamu pun akan menemukan solusinya setelah
mencoba berbagai ‘rumus’ sampai ada yang paling pas untukmu.
Maafkan aku
jika surat ini kuakhiri dengan kalimat klise, K, but you know what? Just do it [.]
(Gambar diambil dari Freepik.)
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak berupa tanggapan, pertanyaan, atau sapaan 😊