
Waktu saya duduk di bangku SMP (2009-2012), satu-satunya moda transportasi yang bisa saya andalkan untuk berangkat dan pulang sekolah adalah angkot (atau “lyn”, sebutannya oleh orang-orang tua). Sekolah saya berjarak sekitar 11 kilometer dari rumah, persis di pusat kota, sementara saya tinggal di pinggiran.
Angkot yang saya tumpangi setiap hari adalah yang berstiker “W” besar di bagian depannya. Bodinya kuning dengan strip hijau di bagian bawah, sementara pada sisinya tertera rute “Joyoboyo–Sidoarjo–Porong”.
Untuk siswa yang tinggal di sekitar sekolah, kebanyakan diantar-jemput orang tua atau memakai jasa khusus antar-jemput. Hampir semua teman sekelas saya juga begitu. Waktu itu Gojek masih sangat baru dan belum beroperasi di Sidoarjo sampai sekitar 2016, jadi otomatis saya tidak bisa mengandalkannya sebagai opsi alternatif di hari-hari sibuk. Tapi sekarang, justru saya amati banyak orang tua yang memanfaatkan ojek online untuk urusan antar-jemput sekolah itu.
Tetapi kalau saya pikir-pikir lagi, andaikan Gojek sudah ada pada masa itu pun, sepertinya Ibu tetap tidak bakal membolehkan saya. Pasti Ibu langsung menyembur, “Eman, nduk!” (“Sayang, nak!”) karena sudah tentu ongkosnya tak murah. Sebagai gambaran betapa murahnya naik angkot waktu itu, saya cuma perlu mengeluarkan Rp4.000 per hari untuk bolak-balik dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Tarif pelajar maksimal Rp2.000 untuk trayek pendek, sementara jarak jauh Rp5.000—contohnya dari Terminal Joyoboyo ke Terminal Larangan. (Setiap kali saya ceritakan pengalaman ini ke adik saya, ekspresinya selalu campur aduk antara setengah mencurigai dan setengah mengagumi, seakan-akan saya ini relik antik...)
***
Pertama kali naik angkot, jujur saja, rasanya deg-degan bukan main. Perjalanan ke luar desa belum pernah saya lakoni tanpa ditemani orang tua, dan bagi anak kampung seperti saya, jarak itu terasa luar biasa jauhnya! Syukurlah, ada lima teman sekelas di SD yang kebetulan masuk SMP yang sama, jadi saya tidak sendirian menghadapi perjalanan perdana.
Di hari pertama itu, ayah seorang teman memberi amanat pada sopir supaya kami diturunkan di SMPN 3 Sidoarjo. Laki-laki itu juga mengajari kami, kalau mau pulang, tinggal bilang saja “Imer”—showroom mobil besar yang dulu selalu menjadi titik pemberhentian kami itu akhirnya digusur Giant dan kini disulap menjadi Unimas District.
Sepanjang perjalanan, teman-teman saya asyik bercakap-cakap, sementara saya—yang gampang mabuk kendaraan—cuma bisa menimpali dengan “ho’oh” sesekali, sambil dalam hati empot-empotan apakah saya bakal sampai di sekolah dengan selamat. Perjalanan pulang pun rasanya sama tegangnya. Tapi ya begitulah, yang namanya pengalaman pertama sudah sewajarnya yang paling membikin deg-degan. Setelah lewat seminggu, saya sudah sepenuhnya terbiasa naik angkot.
Buktinya, di hari-hari pertama saya selalu keluar rumah tepat jam 5 pagi ketika langit masih gelap. Saya harus gowes sepeda dulu menuju jalan besar yang letaknya sekitar 100 meter dari rumah. Lalu saya naik angkot pertama yang melintas, yang biasanya sudah ditempati separuh kursinya oleh ibu-ibu yang bekerja di PT Kuda Laut Mas di Buduran dan mas-mbak yang bersekolah di SMAN 1 Sidoarjo.
Namun begitu lewat seminggu, saya mendapati kalau naik angkot jam 5 berarti saya sudah akan tiba di sekolah sekitar 5.30. Jelas terlalu pagi, “wong” sekolah baru dimulai jam 6.40. Kelas pun masih terkunci. Alhasil, mau tak mau saya lesehan sambil menunggu Pak Satpam membuka pintu. Entah mengapa, satu jam penantian itu bikin saya merasa kikuk—barangkali karena saya mesti menyapa teman-teman baru yang belum saya kenal betul satu per satu. Akhirnya saya bertekad stop berangkat jam 5 pagi, dan mulai Senin depan ganti ke jam 5.30!
Berangkat lebih siang adalah bukti bahwa saya sudah betul-betul terbiasa dengan rutinitas naik angkot. Saya pun tak lagi butuh ditemani teman-teman lama dari SD. Tapi segera saja saya mendapati bahwa berangkat lebih siang itu ada risikonya juga.
Ada hari-hari apes di mana saya malah jadi satu-satunya penumpang di dalam angkot. Pada mulanya saya sempat heran sendiri. Di mana ibu-ibu dari PT Kuda Laut Mas itu? Dan di mana “pulak” mas-mbak dari SMAN 1 Sidoarjo yang biasanya ikut menumpang itu?
Pada akhirnya, setelah saya kumpulkan keberanian dan malu-malu bertanya pada sopir, barulah saya tahu kebenarannya: Ibu-ibu itu harus berangkat pagi-pagi sekali karena shift-nya memang pagi-pagi sekali, sementara murid-murid SMA sengaja datang lebih awal biar sempat belajar sebelum jam masuk—maklum, murid-murid sekolah unggulan “gitu lho”.
Gara-gara kondisi begitu, angkot harus berkali-kali “ngetem” demi mencari penumpang. Saya cuma bisa duduk gelisah sambil menghentak-hentak lantai, berharap sopirnya peka dan iba melihat anak sekolah ini yang setengah mati takut disetrap lantaran terlambat. Tapi apa mau dikata, sopir itu juga mesti kejar setoran, mana mungkin mau melewatkan calon penumpang begitu saja demi saya yang cuma membayar dua ribu perak?!
Akibatnya, kira-kira tujuh dari sepuluh hari saya baru tiba sekitar lima menit sebelum bel. Pernah juga suatu hari, saya memasuki gerbang tepat bersamaan dengan dimulainya doa pagi. (Dan sampai sekarang saya masih menganggap itulah momen paling “mbeling” saya sepanjang masa sekolah, ha-ha-ha-ha.)
***
Di angkot, tempat duduk favorit saya adalah kursi depan, persis di sebelah sopir—dan sampai hari ini pun kursi istimewa itu masih menjadi favorit saya. Wajar disebut istimewa, soalnya ada beberapa keuntungannya.
Keuntungan terbesarnya adalah saya tak perlu “ndusel” dengan penumpang di belakang yang duduknya serapat sarden. Ketika cuaca panas, semua orang saling bertukar keringat. Kalau hujan, semua orang saling berebut oksigen.
Di belakang ada dua bangku: satu panjang, satu pendek. Kapasitasnya ditentukan sepenuhnya oleh sopir. Kalau sopirnya “legowo”, bangku panjang diisi lima orang dan bangku pendek tiga. Tapi kalau yang tipe “kesusu”, tiap bangku pasti ditambah satu orang sampai-sampai rasanya tulang di sekujur tubuh remuk. Jika saya kehabisan kursi depan, seringkali saya terpaksa duduk di belakang sopir—dengan sepatu terbakar panas mesin—atau di pojok belakang—tergencet antara tubuh-tubuh orang dewasa.
Keuntungan lain duduk di kursi depan adalah kendali jendela sepenuhnya ada di tangan saya. Panas? Tinggal buka selebar mungkin. Hujan? Cukup menutupnya rapat-rapat tanpa khawatir setetes pun cipratan air. Tidak seperti di belakang, yang punya aturan diam-diam bahwa jendela wajib sedikit terbuka walau badai mendera demi sirkulasi udara. Akibatnya, celah kecil itu juga yang menjadi jalan bagi air hujan, dan penumpang malang yang duduk di situ cuma bisa pasrah menerima nasib basah-basahan.
Satu lagi keuntungan duduk di depan adalah saya bisa mengajak sopir mengobrol. Tapi tentu saja tidak dengan semua sopir—saya harus pilih-pilih. Begini aturan pribadi saya.
Pertama, buka percakapan hanya dengan sopir yang kira-kira sepantaran ayah atau kakek saya. Sopir yang kelihatan masih muda, “skip” dulu. Kedua, cek apakah ada foto keluarga di dasbor. Makin mantap kalau ada foto anak-anaknya, karena biasanya sopir lebih terbiasa berinteraksi dengan anak muda. Dan yang terakhir, kalau dari wajahnya sudah kelihatan ia sedang tidak “mood”, pilihan terbaik adalah tutup mulut. (Percayalah, sopir angkot yang sedang “bad mood” itu lebih menakutkan daripada apa pun...)
Dengan segala pertimbangan itu, tak diragukan lagi, kursi depan adalah yang paling nyaman, tidak ada tandingan.
Namun ada satu kejadian yang membuat saya sempat menjauhi kursi depan untuk sementara waktu.
Suatu hari, semua angkot yang melintas sudah penuh sesak, dan saya sadar kalau tak mengambil keputusan cepat-cepat, saya pasti terlambat. Kebetulan ada satu Bison—angkot berukuran lebih besar—yang masih lumayan kosong melewati saya. Biasanya saya menghindari Bison gara-gara bau solarnya kuat sekali, tapi demi masuk sekolah tepat waktu, saya tak punya pilihan lain.
Dengan tekad bulat, saya menghentikan Bison berikutnya. Malang sekali, kendaraan itu juga penuh total, sampai-sampai terdengar keluhan dari dalam karena tak ada lagi tempat tersisa. Namun, namanya juga manusia, ketamakan itu tak ada habisnya. Kernet berkeras hati menyelipkan saya masuk di kursi depan...
...di mana dua ibu-ibu akhirnya memangku saya!
Di situlah saya, remaja tanggung 14 tahun, duduk lesu di pangkuan orang yang sama sekali tidak saya kenal selama 20 menit. Mengutip bahasa anak sekarang, canggungnya level dewa! Di sepanjang perjalanan saya coba meringkuk sekecil mungkin karena merasa malu. Rasa malu itu tidak terhindarkan. Bagaimana tidak, muka saya praktis menempel pada dasbor, tinggal beberapa sentimeter lagi sebelum hidung saya menyerempet kaca. Di kepala saya, muncul bayangan para pengendara di depan yang memandangi saya dengan tatapan lucu bercampur bingung. Gara-gara itu, tak terpikir sedikit pun soal ketidaknyamanan ibu-ibu yang memangku saya—namanya juga anak 14 tahun, apa lagi yang dirisaukan selain dirinya sendiri?
Begitulah, kursi depan pun tak lagi terasa istimewa, setidaknya untuk sementara.
Sekarang, dengan maraknya Gojek dan Grab di setiap sudut kota, saya tak harus bersusah-payah lagi demi mendapatkan kursi depan istimewa itu—yang tentu saja adalah keuntungan besar buat saya. Tapi saya cukup yakin para sopir angkot tetap lebih senang melihat kursi istimewa itu ramai-ramai diperebutkan ketimbang melihat transportasi online ramai-ramai dipergunakan [.]
(Gambar diambil dari Wikimedia Commons.)
Thank you so much for sharing this story. Here in Montreal, Canada, our public transit has a couple of seats near the front of the bus. These are primarily reserved for people with limited mobility...for example, someone who uses a cane or walker...or a pregnant woman...or a blind person.
BalasHapusYou can sit in this seat...but if someone gets on the bus with any of the issues I mentioned above, you are expected to give up the seat.
Indonesian buses also have that system where the front seats are meant for pregnant women and anyone with limited mobility. But the vehicle I'm describing is much smaller than a bus... So sadly, it doesn't have any special seating arrangements. 😓
Hapuszaman saya sekolah menengah, saya naik bas sekolah! bangun pagi2 seawal 5 am, dan naik bas 6.15 am, kerana jarak rumah dan sekolah dalam 20 km juga...kenangan zaman persekolahan!
BalasHapusNampaknya bukan saya seorang yang kena jauh-jauh pergi sekolah! Nasib baik ada bas sekolah pula, andai sekolah kami dulu pun sediakan bas mesti pengalaman masa tu berubah banyak. 😋
Hapus